Kisruh Kesultanan Banten Kian Berlarut

Menurut Bambang Wisanggeni, yang mengeklaim sebagai Sultan ke-18 Banten, Pengadilan Agama Serang mengeluarkan putusan yang cacat hukum.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 19 Jan 2018, 20:30 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2018, 20:30 WIB
Reruntuhan Keraton Banten yang Jadi Lokasi Swafoto Favorit
Keraton Surosowan yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banten Lama (Kesultanan Banten) juga menjadi lokasi wisata sejarah bagi para turis di Kota Serang (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Serang - Kisruh mengenai Kesultanan Banten kian berlarut. Ratu Bagus Bambang Wisanggeni, yang tetap mengklaim sebagai Sultan ke-18 Banten, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA) setempat atas dicabutnya gelar sultan yang melekat pada dirinya.

"Memori bandingnya belum, akan menyusul. Menurut saya, putusan (Pengadilan Agama Serang) itu cacat hukum," ucap Bambang Wisanggeni, saat ditemui di kediamannya di Kota Serang, Kamis, 18 Januari 2018.

Menurut Bambang Wisanggeni, Pengadilan Agama (PA) Serang mengeluarkan putusan yang cacat hukum.

Padahal, Keputusan Nomor 316/Pdt.P/2016/PA.Srg, pada poin empat memutuskan bahwa Ratu Bagus Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja adalah trah keturunan Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin (Sultan Banten berdaulat terakhir), sebagai pemilik pertalian darah terkuat yang memiliki hak waris sebagai penerus Kesultanan Banten.

Surat putusan itu dikeluarkan pada Kamis, 22 September 2016, yang diputuskan melalui permusyawaratan majelis hakim PA Serang yang terdiri dari Dudih Mulyadi sebagai hakim ketua, serta Rusman dan Agus Faisal Yusuf sebagai hakim anggota.

"Cacat hukum mengeluarkan putusan saya sebagai ahli waris, lalu pengadilan agama yang sama menarik kembali putusan itu," terangnya.

Pada Rabu, 13 Januari 2017, Pengadilan Agama Serang mengeluarkan putusan dengan Nomor 786/Pdt.G/2017/PA.SRG dengan menghapus salah satu poin yang paling akhir di surat penetapan ahli waris Kesultanan Banten, Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni.

Bambang Wisanggeni pun mengkritik keberadaan lembaga Kenaziran Kesultanan Banten yang telah berubah arah. Bahkan, hingga kini, menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Kesultanan Banten.

"Kenaziran itu hanya sebatas mengurusi tanah wakaf, masjid, dan makam. Nazir itu semacam DKM (Dewan Kesejahteraan Masjid)," Bambang Wisanggeni, yang tetap mengeklaim sebagai Sultan ke-18 Banten.

 

 

 

Diminta Legawa

Kisruh Kesultanan Banten
Ratu Bagus Bambang Wisanggeni mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA) setempat atas dicabutnya gelar Sultan ke-18 Banten yang melekat pada dirinya. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Adapun sang penggugat, dari Forum Dzuriyat Kesultanan Banten (FDKB), menyarankan agar Ratu Bambang menerima putusan hakim di PA Serang.

"Bambang Wisanggei harus nya lebih legawa. Kalau mau menyatukan dzuriyat, harusnya legawa menerima (putusan)," kata Tubagus (Tb) Amri Wardhana, Sekretaris FDKB, saat ditemui terpisah, pada Sabtu, 13 Januari 2018.

Amri menjelaskan kalau pemilihan Sultan Banten untuk saat ini, hanya bisa dilakukan oleh Lembaga Pemangku Adat (LPA) Kesultanan Banten, dengan meminta persetujuan dari para anggota kenadziran.

"Dalam kekinian, seluruh dzuriyat berkumpul, ini bisa dilakukan (pemilihan sultan) dalam entitas budaya. Banten perlu Sulthan, bukan dalam konsep dulu. Lembaga ini nanti yang menentukan siapa seharusnya yang jadi Sulthan. Seperti memiliki kenegarawanan dan keagamaannya," jelasnya.

Klaim Diakui Turki dan Thailand

Sebelumnya, pengacara dari Ratu Bagus Bambang Wisanggeni yang mengaku sebagai Sultan ke-18 Banten meminta pengelolaan Masjid Agung Banten Lama beserta seluruh situsnya diambil alih oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.

"Kami meminta semua pengelolaannya dikembalikan ke pemerintah," kata Muchtar Latief, pengacara dari Bambang Wisanggeni, Jumat, 9 Juni 2017.

Dia menjelaskan, Bambang Wisanggeni adalah Sultan dalam entitas kebudayaan saja, bukan sebagai pemangku kekuasaan penuh seperti zaman kerajaan dahulu.

Ratu Bagus Bambang Wisanggeni mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA) setempat atas dicabutnya gelar Sultan ke-18 Banten yang melekat pada dirinya. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Adapun pengukuhan Sultan Banten ke-18 ini diakui oleh negara luar seperti Turki dan Thailand. Dari kabar yang beredar, Bambang Wisanggeni dilantik sebagai Sultan akhir tahun lalu di halaman Masjid Banten Lama.

"Yang mengukuhkan kesultanan itu dari Turki, Thailand, Patani, serta dzuriyat-dzuriyat (keturunan Sultan Banten)," ujar dia.

Dianggap Salahi Aturan

kesultanan banten
Masjid Kesultanan Banten atau Masjid Agung Banten merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. (Foto: Istimewa)

Sedangkan pihak keluarga besar Kesultanan Banten menerangkan bahwa pelantikan Bambang Wisanggeni sebagai Sultan ke-18 menyalahi aturan adat yang berlaku. Pemilihan Sultan berdasarkan tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT dan harus dilakukan secara adat untuk pelantikannya. Bukan berdasarkan pengakuan dari kerajaan lain.

"Karena Kesultanan Banten sudah terhapus sejak 1808. Jika dibutuhkan Sultan dalam identitas budaya, harus disetujui oleh seluruh Dzurriyat Sultan Banten, bukan oleh kelompok orang yang bukan Dzurriyat yang mengukuhkan," kata Tubagus (Tb) Amri Wardhana, Sekjen Forum Dzuriyat Kesultanan Banten (FDKB).

Kabarnya, Ratu Bagus Bambang Wisanggeni dikukuhkan sebagai Sultan ke-18 di halaman Masjid Banten Lama, Kota Serang, 11 Desember 2016. Di satu sisi masyarakat di sekitar Masjid Agung Banten dan Makam Sultan Maulana Hasanudin sendiri tidak mengakui adanya Sultan Banten yang baru.

"Pada kaget soalnya ada yang ngaku Sultan. Karena Sultan mah kan sudah enggak ada lagi. Masyarakat sini enggak ada yang ngakuin dia Sultan, kalau masyarakat luar enggak tahu," kata Sibli, Ketua RT 01 RW 11, Kampung Kompleks Masjid Agung Banten Lama, Kota Serang.

Sibli bercerita pada saat acara akan berlangsung, tidak ada pemberitahuan kepada dirinya maupun warga sekitar. Masyarakat hanya mengetahui adanya peringatan Maulid Nabi. Namun nyatanya berlangsung pelantikan Sultan Banten yang dicurigai surat domisilinya palsu.

Asli Surabaya?

"Dia kan orang Surabaya aslinya. Bikin surat domisilinya juga langsung dari kecamatan itu mah. Kita enggak tahu soal surat domisili. Masyarakat sini enggak ada yang hadir (saat pelantikan)," ujar dia.

Kesultanan Banten berdiri sejak 1522 Masehi di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati. Kesultanan Islam di Tanah Sunda ini bertahan hingga tiga abad, sebelum hancur lebur karena perang saudara.

Kini, sisa kejayaan Kesultanan Banten hanya Masjid Agung Banten yang masih tegak berdiri. Sedangkan Benteng Surosowan dan Keraton Kaibon hanya tersisa fondasinya. Karena kebesarannya itulah, banyak masyarakat dari berbagai wilayah di Nusantara berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanuddin dan beribadah di Masjid Agung Banten.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya