Liputan6.com, Jayapura - Pagi itu, Mama Ani mengajak serta Mama Nela Hababuk (62) dan Agustina Iwo (45) yang sedang santai di Dermaga Kampung Enggros. "Mari torang (kita) ke Tonotwiyat," kata Mama Ani Meraudje (64), beberapa waktu lalu.
Tonotwiyat yang berarti hutan perempuan, menjadi tempat yang sangat privasi bagi perempuan di Kampung Enggros. Tonotwiyat dikelilingi oleh hutan bakau seluas 8 hektare lebih.
Letak Tonotwiyat tepat berada di kampung tertua di Kota Jayapura. Bisanya, perempuan di kampung itu berkelompok 3-5 orang per kelompok untuk masuk ke hutan perempuan dengan menumpangi kole-kole, sebutan perahu kayu bagi warga setempat.
Advertisement
Hutan perempuan pada dasarnya adalah tempat untuk mencari bia atau kerang. Cara mencarinya juga unik, para perempuan hanya meraba dengan kaki untuk mencari kerang. Tapi, untuk memudahkan pencarian kerang, perempuan di Kampung Enggros harus melepaskan seluruh busananya.
Kerang-kerang yang ditemukan, biasanya dijual per tumpuk di pasar tradisional oleh para perempuan ini atau menjadi lauk makanan untuk seisi rumah. Per tumpuk kerang dihargai Rp 30-50 ribu. Kerang harga Rp 30 ribu, biasanya ukurannya agak kecil. Kerang yang Rp 50 ribu, ukurannya agak besar.
Baca Juga
"Ini adalah kebiasaan turun-temurun bagi perempuan dalam mencari bia. Kami harus melepaskan seluruh pakaian, karena biasanya, jika mencari bia dengan pakaian lengkap, akan gatal di seluruh tubuh," kata Mama Ani yang ditemui Liputan6.com di Hari Kartini, Sabtu 21 April 2018.
Mama Ani menjelaskan, karena tak menggunakan busana itulah, hutan ini disebut hutan perempuan dan hanya dikhususkan bagi perempuan. Biasanya, jika ada laki-laki yang mendengar ada suara perempuan sedang berbincang di hutan perempuan, lelaki itu akan menjauh, karena para lelaki itu tak mau dikenakan sanksi adat.
"Tapi, jika ada laki-laki yang sengaja mendekat ke hutan perempuan, maka harus menerima sanksi adat itu," kata Mama Ani.
Hutan Tempat Curhat
Hutan Perempuan di Kampung Enggros, bukan hanya menjadi tempat mencari makan bagi kehidupan sekitarnya, tapi oleh mama-mama di kampung itu, hutan perempuan juga dijadikan tempat bercerita dari hati ke hati antar perempuan. Entah yang diceritakan itu adalah masalah perempuan, anak, hingga masalah suami-istri, bisa diceritakan didalam hutan tersebut.
"Kami justru sering bercerita soal masa-masa saat pacaran dulu. Itu lebih membuat lepas dari rutinitas. Ada juga cerita-cerita untuk masa depan anak cucu kami," kata Mama Nela sambil teersenyum.
Untuk berada di Tonotwiyat, perempuan di Kampung Enggros tak ada waktu yang ditentukan. Semua tergantung kepada pasang surutnya air yang berasal dari Teluk Youtefa. "Air surut itu memudahkan kita mencari bia. Karena tinggi air juga hanya bisa setinggi dada atau perut saja," kata Mama Nela.
Para perempuan Kampung Enggros berharap ada peranan penting pemerintah dalam melestarikan hutan perempuan. Saat ini, masalah yang dihadapi adalah banyaknya sampah yang bermuara di kampung itu, terlebih jika usai hujan. Sampah-sampah biasanya datang dari wilayah Abepura dan sekitarnya.
"Sampah ini ancaman untuk kami. Banyak sampah kain dan plastik yang terbawa hingga ke kampung. Kami juga khawatir jika ada sampah pecahan botol yang terbawa arus dan bisa kami injak dalam pencarian bia. Semoga petugas kebersihan juga bisa memperhatikan sampah di kampung ini," kata Mama Ani.
Advertisement
Sanksi Adat
Ternyata sanksi adat telah diterapkan bagi laki-laki yang sengaja masuk ke hutan perempuan di Kampung Enggros. Sanksinya berupa pembayaran manik-manik.
Ondoafi Kampung, John Sanyi (60) menyebutkan pada 2012 terjadi kasus pembayaran manik-manik dari pemuda kampung setempat kepada mama-mama di kampung itu. Pemuda itu dikenakan denda adat, karena dengan sengaja masuk ke dalam hutan perempuan.
"Pemuda itu menggunakan plastik sebagai penutup kepalanya dan masuk di hutan perempuan dengan membawa pisau. Mama-mama lantas berteriak dan si pemuda ditemukan di dalam hutan bakau," katanya.
Kepala Kampung Enggros, Orgenes Meraudje menyebutkan peraturan kampung tentang hutan perempuan terus dibahas. Peraturan ini dibuat untuk melindungi hutan dan perempuan bagi kehidupan di kampung itu dengan prinsip-prinsip adat.
Sebab, hutan perempuan ibarat tempat perekonomian Kampung Enggros dan harus ada perlindungan berupa Perda dan hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat.
"Hutan perempuan ibarat mal, perempuan di sana mencari makanan untuk orang banyak. Ibarat para perempuan ini sedang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga harus kita jaga," ucapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: