Cara Memantau Pergerakan Magma Gunung Merapi

Pergerakan magma Merapi masih tanda tanya. Cek alasan BPPTKG DIY belum bisa memastikan posisi magma.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 05 Jun 2018, 14:00 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2018, 14:00 WIB
Merapi
BPPTKG DIY tidak bisa memiliki data pembanding pergerakan magma Gunung Merapi karena perbedaan metode pemantauan.

Liputan6.com, Yogyakarta - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY menginterpretasikan pergerakan magma Gunung Merapi berdasarkan referensi fenomena pascaerupsi 2010. Sebab, mereka tidak memiliki data pembanding untuk mendeteksi itu.

Bukan tanpa alasan, BPPTKG DIY tidak mempunyai referensi data pergerakan magma. Pemantauan yang dilakukan sebelum dan sesudah erupsi 2010 menggunakan metode yang berbeda.

"Sebelum erupsi Merapi 2010, pemantauan dilakukan secara konvensional," ucap Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG DIY, Agus Budi Santoso, Senin, 4 Juni 2018.

Ia menjelaskan, pemantauan konvensional menggunakan alat electronic distance measurement yang hanya melihat satu sektor dan mengukur jarak dan pos pengamatan.

Sementara, metode untuk melihat pergerakan magma saat ini menggunakan pendekatan seismik yang dapat mengetahui perubahan posisi hypocenter (hiposentrum) gempa VT. Mereka memasang GPS di sekeliling Gunung Merapi.

"Ada delapan GPS di Merapi dan satu di kantor kami," ujar Agus.

Pendekatan itu memungkinkan untuk menghitung vektor tiga dimensi atau arah dan besar pergerakan yang terjadi. Lewat metode ini juga bisa dilihat sumber pergerakan.

Ia tidak menampik gempa VT A atau gempa dalam sudah terjadi. BPPTKG mencatat di Gunung Merapi gempa dalam terjadi sebelum peningkatan status Waspada (Level II) dan pada 3 Juni lalu. Mereka memperkirakan pergerakan magma masih di kedalaman lebih dari tiga kilometer.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Interpretasi Berdasarkan Fenomena Erupsi 2010

Merapi
BPPTKG DIY tidak bisa memiliki data pembanding pergerakan magma Gunung Merapi karena perbedaan metode pemantauan.

Agus mengatakan pula, sekalipun data monitoring pergerakan magma tidak ada, BPPTKG melakukan pemantauan berdasarkan referensi fenomena. Mereka menginterpretasikan sesuai dengan analogi letusan 2010.

"Biasanya setelah letusan besar selalu diikuti letusan efusif atau lelehan," ujarnya.

Ia mencontohkan, pada 2010, gempa VT A mulai September. Dua minggu sebelum letusan hampir tidak ada gempa VT A, bersamaan dengan itu VT B atau gempa dangkal meningkat drastis.

Agus mengungkapkan, untuk interpretasi selanjutnya, BPPTKG DIY membutuhkan data selain gempa VT A. Menurutnya, ketika magma sudah berjalan naik barulah bisa didapatkan interpretasi yang baru.

"Ini bukan ilmu pasti yang terlalu eksak, semua kemungkinan bisa terjadi, tetapi kemungkinan ada yang tinggi dan rendah," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya