Hikayat Bocah-Bocah Kerdil di Purbalingga

Ibu bekerja dinilai jadi salah satu biang keladi tingginya angka bocah kuntet alias stunting di Purbalingga, Jawa Tengah.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 15 Jan 2019, 16:03 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2019, 16:03 WIB
Imunasi lengkap dan kecukupan nutirisi menhindarkan balita dari stunting. (Foto: Liputan6.com/Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)
Imunasi lengkap dan kecukupan nutirisi menhindarkan balita dari stunting. (Foto: Liputan6.com/Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Kasus bocah kerdil atau kuntet alias stunting kini menjadi isu penting Indonesia. Pasalnya, di banyak daerah, prevelensi balita stunting masih tinggi.

Salah satunya di Purbalingga. Kabupaten yang berada di lereng Gunung Slamet ini menjadi salah satu kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah yang diprioritaskan mendapatkan penanganan stunting.

Pada 2013, prevelensi stunting mencapai 36,75 persen. Angka ini disebut lebih tinggi dari kasus stunting secara nasional.

Balita stunting 2013 mencapai 29.880 dari 70 ribu balita. Kategorinya ada dua macam, yakni pendek dan sangat pendek atau kerdil.

 

Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga, Hanung Wikantono, mengatakan dari 224 desa di Purbalingga, ada 10 desa yang menjadi prioritas penanganan stunting. Sepuluh desa tersebut, yakni Desa Pelumutan Kecamatan Kemangkon, Desa Brecek, Cilapar dan Sempor Kecamatan Kaligondang.

Kemudian, Desa Candinata Kecamatan Kutasari, Desa Kradenan, Kecamatan Mrebet, Selagangeng dan Sangkanayu Kecamatan Rembang, Desa Bantar Barang dan Desa Kalitingga, Kecamatan Padamara.

“Di 10 desa yang menjadi prioritas ini sekarang sudah turun menjadi sekitar 23,5 persen,” ucap Hanung saat dihubungi Liputan6.com, Senin (14/1/2019).

Di 10 desa itu, lintas OPD di Pemkab Purbalingga yang dimotori oleh Dinkes menangani secara bersamaan. Pertama, melalui advokasi semua desa yang masuk dalam prioritas penangan stunting.

 

Stunting di Purbalingga

Balita ditimbang di Posyandu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Balita ditimbang di Posyandu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Secara keseluruhan, prevelensi stunting tahun 2018 lalu juga telah turun menjadi kisaran 26,4 persen. Artinya, dari 70 ribu balita di Purbalingga, masih ada sekitar 18 ribu bocah kerdil.

“Bersama puskesmas bahwa pentingnya menjaga kesehatan bagi ibu dan anak sejak mulai dari kandungan sampai menginjak balita,” kata Hanung.

Langkah kedua, yakni dengan mengoptimalkan program dan kegiatan di bidang kesehatan dengan tujuan untuk menanggulangi dan menangani kasus stunting. Program dan kegiatan ini juga didukung oleh OPD lainnya.

“Sehingga tanggung jawab kesehatan merupakan tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.

Hanung menjelaskan bahwa stunting bukanlah fenomena yang datang tiba-tiba. Stunting dapat dipengaruhi oleh pra kehamilan, bahkan dalam usia remaja perempuan.

Karenanya, untuk mencegah, masyarakat mesti berpola hidup sehat, pemberian gizi yang baik untuk ibu prahamil dan masa kehamilan, kontrol kesehatan. Peka kelahiran, bayi pun mesti terjamin gizi dan nutrisinya.

“Terpenting, pemenuhan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan dengan memperhatikan kecukupan gizi selama kehamilan, memberikan Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif selama enam bulan, serta memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) sesuai kecukupan gizi anak,” ungkap Hanung.

Ia menjelaskan, stunting merupakan masalah kurang gizi kronis akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi pada anak.

 

Kasus Balita Stunting pada Ibu Bekerja

Posyandu menjadi ujung tombak sosialisasi kesehatan ibu dan anak. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Posyandu menjadi ujung tombak sosialisasi kesehatan ibu dan anak. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kasus stunting terjadi sejak dalam kandungan dan akan muncul saat anak berusia dua tahun. Anak yang sudah telanjur terkena stunting, dapat diberikan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), pemulihan, stimulasi pengasuhan dan pendidikan berkelanjutan.

“Saya minta derajat kesehatan masyarakat untuk selalu ditingkatkan terus melalui perilaku kesehatan untuk dijaga, lingkungan yang bersih dan sehat, pelayanan kesehatan secara kontinyu serta faktor keturunan atau genetika,” kata Hanung.

Hanung juga menyoroti banyaknya pekerja perempuan di Purbalingga. Menurut dia, ada pengaruh antara kasus stunting dan pola asuh dan pola hidup keluarga.

Biasanya, anak yang ditinggal ibu bekerja diasuh oleh nenek atau sudaranya. Bahkan, ada pula yang justru diasuh oleh sang bapak.

Beda pola asuh ini juga berpengaruh terhadap rutin tidaknya pengecekan kesehatan dan kunjungan ke Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu.

Oleh sebab itu, ia mendesak agar perusahaan melindungi para ibu yang tengah hamil, menyusui atau memiliki balita. Prioritas kesehatan menjadi utama pada ibu bekerja.

Sejumlah perusahaan telah merespons permintaan Pemkab Purbalingga itu dengan membuat ruang khusus laktasi sekaligus tempat penyimpanan ASI-nya. Cuti untuk ibu hamil, melahirkan, hingga nifas pun mesti diberikan maksimal.

“Ibu yang hamil atau menyusui itu tidak boleh terlalu capek. Nutrisinya juga harus cukup,” dia menegaskan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya