Liputan6.com, Raja Ampat - - Tak ada habisnya menceritakan pesona Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Status 'The Last Paradise' menempel pada namanya dan diakui secara luas oleh wisatawan dari seluruh dunia. Tidak hanya pesona bawah laut dan panorama gugusan pulaunya saja, Raja Ampat kini mulai menawarkan potensi lainnya sebagai surga bagi para pecinta burung.
Beragam paket wisata, jalur-jalur penjelajahan, hingga menara–menara pengamatan disiapkan secara sederhana oleh masyarakat lokal, agar bisa memfasilitasi wisatawan dari berbagai kalangan. Sebuah menara panorama didirikan dan dikelola oleh Amandus Marindal dan keluarganya di tengah Teluk Kabui.
Advertisement
Baca Juga
Hanya berjarak tempuh 30 menit dari Kampung Saporkren atau sekitar 1 jam dari Kota Waisai menggunakan kapal nelayan, pengunjung sudah bisa memperoleh panorama indah dengan jarak yang terhitung dekat dari pusat kota. Tentu saja itu juga berarti biaya transportasi jadi jauh lebih murah dibanding lokasi lain yang sudah terkenal. Lokasi ini dikenal sebagai 'Puncak Wawiyai'.Dari tempat bersandar kapal, pengunjung harus melalui jalur pendakian. Sekalipun jaraknya terhitung pendek, butuh waktu kurang dari 20 menit untuk sampai di puncak karena kondisi yang cukup terjal. Namun tingkat kesulitan coba diantisipasi dengan mulai dibangunnya tangga dan pijakan untuk mempermudah pengunjung dari segala kalangan.
Di puncak tebing, sudah menanti pelataran yang menampilkan panorama gugusan pulau karst di atas perairan laut berwarna tosca. Sungguh, pesona Puncak Wawiyai tidak kalah bila disandingkan dengan Piaynemo yang namanya sudah lebih dahulu mendunia.
Sore hari menuju senja adalah waktu yang paling tepat untuk berlama-lama di atas pelataran. Berbagai jenis burung yang biasa berkeliaran di Raja Ampat tampak beterbangan melintasi kami. Tercatat sekitar 16 spesies yang teramati selama sekitar dua jam kami berdiri di Puncak Wawiyai.
Â
Pertunjukan Burung-Burung ke Peraduan
Burung-burung itu di antaranya tiong-lampu biasa (Eurystomus orientalis), pergam rempah (Ducula myristicivora), betet kelapa paruh besar (Tanygnathus megalorhyncos), manukodia kilap (Manucodia ater), elang bondol (Haliastur indus), julang papua (Ryhticeros plicatus), cikalang kecil (Fregata ariel), kipasan kebun (Rhipidura leucophrys).
Ada juga cabai papua (Dicaeum pectorale), dara laut jambul (Thaasseus bergii), dara laut tengkuk hitam (Sterna sumatrana), perkici pelangi (Trichoglossus moluccanus), jagal papua (Cracticus cassius), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), gagak orru (Corvus orru), dan cikukua tanduk (Philemon buceroides).
Hingga akhirnya langit perlahan redup dan bias cahaya matahari jingga terpantul pada awan-awan di atasnya. Panorama sunset memang selalu memukau dari sisi Waigeo bagian selatan, surga bagi para pencari matahari terbenam.
Pertunjukan tidak berhenti sampai di sini. Beberapa menit sebelum langit benar-benar hilang cahayanya, ribuan burung cikalang kecil mulai berdatangan dari seluruh penjuru langit. Mereka terbang dan berputar di atas sebuah pulau karang kecil tepat di sisi pulau yang kami pijaki. Masyarakat setempat menjuluki pulau tersebut sebagai 'tempat tidur burung'.
Kami terpukau dan kehilangan kata, melihat burung yang tak terhitung banyaknya mengerumuni pulau. Hingga malam benar-benar redup, cikalang mulai hinggap pada tenggerannya masing-masing dan pulau mulai tenang. Kami pun memutuskan untuk turun dalam kegelapan. Sebuah pertunjukan memukau yang terlihat dari Puncak Wawiyai. Pertunjukan senja yang menggetarkan.
(Ana Septiana / peneliti, kontributor Liputan6.com)Â
Advertisement