Liputan6.com, Raja Ampat - Coba ketik kata kunci ‘Raja Ampat’ di mesin pencari, carilah foto-fotonya. Niscaya keluar foto-foto gugusan pulau-pulau cantik. Itulah Piaynemo, salah satu kawasan ikonik di Raja Ampat, Papua Barat.
Awal Maret 2019 saya berkesempatan menjejakkan kaki di Piaynemo. Tak cukup berfoto dengan latar belakang gugusan pulau, saya juga blusukan melihat keindahan lain dari Piaynemo. Bukan hanya alamnya yang cantik, namun juga bagaimana masyarakat setempat mengelola Piaynemo dengan cinta.
Mendaki bukit melintasi hutan di Piaynemo, pengunjung dimanjakan dengan jalur kayu yang rapi. Uniknya, sulur tumbuhan dibiarkan mencuat menembus jalur dan tangga-tangga dari lubang-lubang di lantai pijakan. Warga tidak membabat pohon, tiang, pancang, dan liana di tengah jalur, melainkan memberikan mereka ruang untuk tumbuh dan tetap hidup seperti itu.
Advertisement
Baca Juga
Menapaki 300 anak tangga tidak akan terasa karena kita bisa menikmati forest bathing, dengan udara kaya oksigen yang bisa dihirup secara cuma-cuma. Perjalanan ditemani kupu-kupu yang terbang liar di bawah kanopi hutan.
Tidak sampai satu jam, pengunjung bisa mencapai puncak bukit berupa pelataran kayu berkapasitas 50 orang. Dari titik itu kita bisa menikmati pemandangan pulau-pulau kecil Raja Ampat dan ujung telaga di balik bukit.
Turun dari puncak bukit ada kios-kios pedagang milik warga lokal. Mereka menjual buah-buah kelapa pelepas dahaga, ikan asin untuk oleh-oleh, ketam kenari yang kadang dibebaskan untuk bisa difoto menjadi satu atraksi tersendiri, dan beberapa souvenir seperti gelang-gelang dan kalung-kalung yang dibuat dari bahan alam.
Saya menghampiri kios terdekat dari jalur, yang kebetulan sudah ada beberapa orang duduk di dalamnya dan sedang meminum air kelapa sambil bersenda gurau. Ketika saya memesan, penjaja dengan ramah menggiring saya untuk bergeser ke kios di sisi lain pelataran, yang kebetulan belum ada pembelinya.
“Yang di sini belum ada yang beli. Berbagi, to?” ujar pedagang yang mengantar. Pemilik kios yang kami datangi langsung bergegas memilih buah kelapa terbaiknya.
Pengelolaan kios-kios tersebut memang dilakukan oleh masyarakat adat yang berada di pulau-pulau sekitar. Seminggu sekali, mereka bergantian dengan penjaja dari keluarga lain atau dari kampung lain.
Di waktu tidak giliran berjualan, mereka membuat ikan asin, atau mencari kembali buah kelapa atau ketam kenari serta bahan apapun dari kampung. Mereka berbagi rezeki dengan semuanya.
Saya meninggalkan Raja Ampat dengan rasa bahagia. Bukan hanya karena melihat pemandangan surgawinya, namun juga karena menyaksikan bagaimana warga setempat memperlakukan alam dan sesama.
(Ana Septiana / peneliti, kontributor Liputan6.com)