Liputan6.com, Yogyakarta - Siapa bilang bahasa Indonesia ketinggalan zaman? Bahasa nasional ini justru mencuri perhatian banyak orang asing.
Tidak sedikit orang asing dari berbagai negara di penjuru dunia yang datang ke Indonesia untuk belajar Bahasa Indonesia. Bahkan, Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (KIPBIPA) rutin digelar setiap tahun.
Konferensi yang penyelenggaraannya memasuki tahun ke-11 ini kembali diadakan di Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 7 sampai 9 Agustus 2019.
Advertisement
Baca Juga
KIPBIPA XI diprakarsai oleh Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA (APPBIPA) cabang Yogyakarta dan bekerja sama dengan Indonesian Culture and Language Learning Service (INCULS) UGM dengan mengangkat tema Pengembangan BIPA pada Era Revolusi Industri 4.0. Acara ini dihadiri lebih dari 100 peserta yang akan menampilkan 55 makalah pendamping (tim dan invidual yang berasal dari dalam dan luar negeri).
“Bahasa Indonesia ternyata menempati posisi strategis di dunia,” ujar Sudibyo, ketua panitia KIPBIPA, dalam jumpa pers di UGM, Selasa (6/8/2019).
Salah satu pasal dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 menyebutkan Bahasa Indonesia diajukan sebagai bahasa internasional. Faktanya, bahasa Indonesia sudah dipakai dan diajarkan di lebih dari 45 negara. Di Vietnam, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar kedua.
Hal ini cukup beralasan karena Bahasa Indonesia di kawasan ASEAN menjadi bahasa pengantar utama. Di Korea, terdapat tiga universitas yang mengajarkan bahasa Indonesia dan Melayu.
Ia menilai konferensi ini bisa berkontribusi dalam kejayaan bahasa Indonesia, termasuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Konferensi ini juga sudah melahirkan banyak hal, seperti, muncul asosiasi pengajar BIPA yang dikukuhkan menjadi afiliasi, bahasa Indonesia mulai diperjuangkan dan ratusan pengajar BIPA dikirimkan ke seluruh dunia.
“Bahasa Indonesia untuk penutur asing sebagai sebuah tangan untuk berkomunikasi dengan luar dan tujuan Indonesia menggalakkan BIPA adalah untuk soft diplomacy,” tutur Ari Kusmiatun, dosen Sastra Indonesia UNY.
Tantangan Sekaligus Peluang
Dosen Sastra Indonesia UGM Novi Siti Kussuji Indrastuti tidak menampik upaya membuanakan bahasa Indonesia menjadi tantangan sekaligus peluang. Kemungkinan akan ada banyak investasi masuk, tetapi secara internal nasionalisme dalam hal bahasa juga harus semakin kuat.
“Dan menerima orang asing dengan standar tertentu,” ucapnya.
Ia menuturkan persaingan di dunia kerja dalam negeri sudah ada standar khusus tentang bahasa bagi pekerja atau mahasiswa asing. Semacam TOEFL, bahasa Indonesia pun memiliki Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI).
Selain itu, penguatan internal juga diperlukan. Menurut Novi, rakyat Indonesia harus bangga dengan bahasanya sendiri.
“Harus dimulai sejak dini, kita harus bangga dengan penggunaan bahasa kita sendiri dan harus percaya diri serta menjayakannya,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kalimat utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing sebab bahasa adalah pintu gerbang segala hal untuk masuk ke segala negara.
Advertisement