Akademisi: Penyerahan Berkas Perkara Korupsi Lahan Bandara Mangkendek Harus Berjalan Kolektif

Hingga kini baru 2 tersangka yang dilimpahkan ke pengadilan oleh Kejati Sulsel.

oleh Eka Hakim diperbarui 23 Apr 2022, 00:44 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2022, 00:19 WIB
Dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina (Liputan6.com/Eka Hakim)
Dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah melimpahkan perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mengkendek, Tana Toraja yang mendudukkan dua orang terdakwa masing-masing Enos Karoma, mantan Setda Tana Toraja dan Ruben Rombe Randi, mantan Camat Mengkendek ke Pengadilan Tipikor Makassar, Senin 18 April 2022.

Menanggapi hal tersebut, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar, Jermias Rarsina mengatakan bahwa kasus korupsi Bandara Mengkendek Kabupaten Tana Toraja adalah kasus korupsi dalam catatan sejarah penegakan hukum termasuk paling terlama di Krimsus Polda Sulsel dan Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk di bawah ke Pengadilan Tipikor.

"Kalau saya tak keliru, sekitar tahun 2012 sudah dilakukan penyelidikan dan baru di bulan April  2022 perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Negeri Makassar," kata Jermias, Jumat (21/4/2022).

Menurut dia, pembuktian kesalahan dalam tanggung jawab pidana kasus tersebut akan semakin mudah. Karena, lanjut dia, telah ada putusan perdata yang inkracht van Gewisdje Zaak mengenai lahan tanah yang terkena proyek pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Bandara yang putusannya bersifat penghukuman (condemnatoir) kepada Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan Panitia 9 (Panitia Pengadaan Tanah) untuk membayar kepada pihak para penggugat (Keluarga besar turunan Sesa Bone) selaku pihak yang berhak atau pemilik atas lahan tanah, sebagaimana telah digugat di Pengadilan Negeri Makale, Pengadilan Tinggi Makassar dan terakhir didukung dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor : 207 K/Pdt/2013.

Putusan perdata tersebut, kata Jermias, memberikan penegasan hukum bahwasanya uang pembayaran ganti rugi telah salah bayar kepada pihak lain yang sebenarnya tidak berhak menerima/ memperoleh ganti kerugian pengadaan tanah pada proyek Pembangunan Bandara Mengkendek Kabupaten Tana Toraja.

Tentunya berdasarkan regulasi sesuai UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah dan peraturan turunan lainnya, jika dihubungkan dengan kewenangan Panitia Pengadaan Tanah dalam arti terjadi salah bayar, maka tanggung jawab pidana baik dari segi bentuk kesalahan karena kesengajaan atau karena kelalaian dalam menjalankan tugas dan wewenang, otomatis  menjadi tanggung jawab Panitia Pengadaan Tanah.  

Dengan demikian, menurut Jermias, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak terlalu bekerja keras untuk mengejar kesalahan Panitia Pengadaan Tanah yang sifatnya kolektif dari segi unsur perbuatan melawan hukum yang erat kaitannya dengan kewenangan Panitia Pengadaan Tanah, sebab putusan perdata tersebut menjadi kata kunci bahwa ada perbuatan salah bayar ganti kerugian sebagai tafsiran dari unsur kerugian negara nyata terjadi dan ada perbuatan melawan hukum dalam menjalankan Kewenangan.

Dengan adanya putusan perdata bersifat condemnatoir (penghukuman) kepada Pemkab Tana Toraja dan Panitia 9 atau Panitia Pengadaan Tanah, maka hal itu, kata dia, berarti negara harus membayar untuk kedua kalinya atau dengan kata lain makna hukumnya bahwa pembayaran terdahulu itu telah salah bayar kepada orang yang tidak berhak atau bukan pemilik.

"Ingat, secara yuridis bahwa setiap Putusan Perdata di Pengadilan memiliki kekuatan hukum bersifat sah dan mengikat, pembuktian dan eksekutorial (pelaksanaan putusan)," tutur Jermias.

Secara yuridis, kata dia, Putusan Perdata tersebut memenuhi ketiga unsur pokok dimaksud dan berdasar untuk dapat dijadikan referensi bagi perkara Tindak Pidana Korupsi Bandara Mengkendek guna membuktikan tanggung Jawab pidana dari Panitia Pengadaan Tanah.

Namun menjadi aneh bin ajaib dalam kasus korupsi tersebut nyatanya berjalan tidak kolektif dalam hal penyerahan berkas perkaranya untuk disidangkan. Padahal, lanjut Jermias, tidak ada alasan apapun dari segi tanggung jawab pidana untuk kesemuanya diseret bersama-sama secara serempak ke meja hijau . 

Dalam regulasinya, Panitia Pengadaan Tanah memiliki kewenangan melekat dalam menginventarisasi obyek tanah, benda-benda di atasnya dan siapa saja subyek hukum pemegang hak yang berhak atau sebagai pemilik guna memperoleh pembayaran ganti kerugian.

"Di situlah pintu masuknya bagi Jaksa PU untuk membuktikan peranan Panitia Pengadaan Tanah dalam kewenangan mereka menjalankan tugas  dan tanggung jawab menginventaris tanah, benda-benda lain di atasnya dan subjek hukum pemegang hak," ungkap Jermias.

Unsur pidana mengenai salah bayar sebagai maksud dari terjadi kerugian keuangan negara, kata dia, tidak bisa dihindari lagi dengan hadirnya putusan perdata, dan itu tentunya berkohesi atau senyawa untuk menentukan unsur perbuatan melawan hukum dalam menjalankan kewenangan oleh Panitia Pengadaan Tanah, baik karena ada kesalahan sebagai kesengajaan atau kelalaian dalam menjalankan kewenangan yang melekat pada Panitia Pengadaan Tanah.

Sekali lagi, lanjut Jermias, parameter hukumnya sangat jelas, yakni dengan munculnya putusan perdata, maka kedudukan hukum Panitia Pengadaan Tanah tidak terelakan lagi harus/wajib diseret tanggung jawab mereka ke meja hijau secara serempak bersama-sama (seharusnya) bukan bersifat parsial.

Terlepas dari mereka masing-masing mempunyai hak untuk membela diri membuktikan bersalah atau tidaknya dalam tanggung jawab menjalankan kewenangan yang melekat sebagai Panitia Pengadaan Tanah.

"Apalagi terang dalam surat Dakwaan Jaksa PU menggunakan Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHPidana dalam ajaran delneming (penyertaan) sebagai perluasan tanggung jawab pidana kepada para pelaku sebagai pembuat pidana dalam arti luas," Jermias menandaskan.

 

Baru Dua Tersangka Diseret ke Pengadilan

Polda Sulsel belum melimpahkan perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Tana Toraja ke Kejati Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Bandara Mengkendek, Tana Toraja

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah melimpahkan perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mengkendek, Tana Toraja yang mendudukkan dua orang terdakwa masing-masing Enos Karoma, mantan Setda Tana Toraja dan Ruben Rombe Randi, mantan Camat Mengkendek ke Pengadilan Tipikor Makassar, Senin 18 April 2022.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) Soetarmi mengatakan, untuk perkara Enos Karoma telah dilimpahkan berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa Nomor: B- 527/ P.4.26/ Ft.1/ 04/ 2022 tertanggal 14 April 2022.

Sementara untuk perkara Ruben Rombe Randi dilimpahkan berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa Nomor: B- 528/ P.4.26/ Ft.1/ 04/ 2022 tertanggal 14 April 2022.

"Kedua pelimpahan perkara tersebut telah diterima di Pengadilan Tipikor Negeri Makassar berdasarkan bukti tanda terima Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa tertanggal 18 April 2022," kata Soetarmi.

Dengan telah dilakukannya pelimpahan perkara kedua terdakwa tersebut ke Pengadilan Tipikor Makassar, lanjut Soetarmi, maka pihaknya tinggal menanti agenda persidangan.

"Jaksa Penuntut Umum tinggal menunggu penetapan Majelis Hakim terkait pelaksanaan sidang perdana perkara ini," jelas Soetarmi.

Kedua terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan dan diancam dengan pidana dalam Primair Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, Subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Adapun total kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan kedua terdakwa ditaksir sebesar Rp7.369.425.158,00.

 

6 Tersangka Belum Diserahkan

Polda Sulsel terus berupaya memenuhi petunjuk jaksa agar kasus dugaan korupsi bandara mangkendek toraja segera rampung (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Bandara Mengkendek

Pasca dibuka kembali sejak bulan April 2019, penyidik subdit tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi masing-masing mantan Bupati Tana Toraja, Theofelius Allorerung, mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten TanaToraja yang juga bertindak selaku ketua panitia pengadaan tanah, Enos Karoma, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Tana Toraja selaku anggota Panitia Pengadaan Tanah, Yunus Sirante dan mantan Camat Mengkendek selaku anggota panitia pengadaan tanah, Ruben Rombe Randa.

Kemudian, saksi lainnya yakni mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja yang juga bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA), Meyer Dengen dan mantan Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja, Aspa Astri Rumpa.

Serta turut juga memeriksa Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja yang saat itu bertindak sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Welem Sambolangi dan mantan Ketua Komisi 3 DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Yohannes Lintin Paembongan.

Usai memeriksa para saksi, penyidik lalu lakukan gelar perkara dan menetapkan kembali 8 orang tersangka yang jauh sebelumnya sudah pernah berstatus tersangka namun bebas demi hukum karena masa penahanannya di tahap penyidikan kala itu usai.

8 orang tersangka tersebut masing-masing mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma, mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa, mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja Haris Paridy, mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja Agus Sosang, mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja Yunus Palayukan, mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja Gerson Papalangi dan nantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja Zeth John Tolla.

"Tersangka masih yang dulu itu," singkat Kombes Pol Yudhiawan Wibisono yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Minggu 22 September 2019.

 

Perjalanan Panjang Kasus Bandara Mangkendek

Kawasan Hutan Produktif Terbatas (HPT) Mapongka, Kecamatan Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Eka Hakim/Liputan6.com)
Bandara Mengkendek

Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mengkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya. Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mengkendek sebesar Rp38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp21 miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp7 miliar lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Provinsi Sulsel. Dari data yang dihimpun, kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya