Liputan6.com, Larantuka - Tradisi Semana Santa Larantuka, devosi sakral umat Katolik di Kabupaten Flores Timur, NTT menyimpan kisah tentang penemuan patung Tuan Ma atau Bunda Maria lebih dari 500 tahun lalu.
Ceritanya, sekitar tahun 1510 silam, ada seorang pemuda bernama Tukan Weling Resiona menemukan patung di pinggir pantai saat mencari ikan. Cerita lain menyebut patung Tuan Ma itu ditemukan Resiona saat ia masih berumur 7 tahun.
Berdasarkan penuturan, saat itu bocah Resiona sedang bermain di pinggir pantai lalu menemukan patung yang berubah menjadi seorang dewi.
Advertisement
Baca Juga
Versi lain tentang temuan patung Tuan Ma yang hingga kini masih awet di telinga masyarakat, adalah dugaan terdampar saat bangsa Portugis mencari rempah-rempah.
Namun, cerita tentang patung terdampar dibantah oleh Wilhelmus Resiona, turunan ke-9 Tukan Weling Resiona. Pria 69 tahun itu menyebut patung Tuan Ma diberikan langsung oleh pedagang Portugis yang datang bersama Padri atau misionaris Dominikan.
"Cerita dari sang penemu, mereka diberi oleh misionaris. Kalau terdampar itu hanya cerita-cerita orang," katanya, Kamis 28 Maret 2023.
Wilhelmus menuturkan, pemberian patung Tua Ma bertujuan mengajak warga Larantuka masuk agama katolik lantaran saat itu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
"Itu cara misionaris menyebarkan umat katolik. Ya, cara awalnya memberi patung," jelasnya.
Kesakralan patung Tuan Ma, sudah dialami sejak pertama ditemukan. Saat itu, hasil panen semakin melimpah dan banyak orang sakit bisa sembuh usai berdoa di patung Tuan Ma.
Ia menuturkan, beberapa peziarah yang datang dalam keadaan sakit parah dinyatakan sembuh usai mengikuti devosi secara utuh sambil menyampaikan permohonan atau 'Permesa'.
"Banyak berkat yang kami rasakan. Orang sakit sembuh, hasil panen berlipat ganda. Yang penting ikut dengan sungguh-sungguh," tuturnya.
Sebelum diletakan dalam kapela berlapis tiga ruangan, patung Tuan Ma awalnya disimpan di Korke (rumah adat) Kabelen Resiona ratusan tahun lamanya. Warga menyebut Korke sebagai rumah kudus dan atau keramat.
Keberadaan Tuan Ma dalam Korke dilarang para misionaris. Bak gembala bagi domba, imam katolik mengarahkan umatnya mengganti nama menjadi Kapela Tuan Ma, termasuk Korke milik Raja Ama Koten Diaz Viera de Godinho (DVG) yang kini menjadi Kapela Tuan Ana.
"Pastor melarang tidak boleh melakukan kegiatan di Korke dan diganti dengan Kapela Tuan Ma. Kalau korke milik raja diganti Tuan Ana," ungkapnya.
Sejak saat itu, warga Lamaholot yang mendiami daratan Flores Timur, Pulau Solor, Adonara, dan Lembata resmi melepas kekafiran. Mereka kemudian dibaptis oleh misionaris menjadi orang katolik. Upacara doa, ibadat, hingga devosi Semana Santa tetap bertahan hingga sekarang.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Kerajaan Katolik Pertama di Indonesia
Nama kota Larantuka yang terpacak di bawah kaki Gunung Ile Mandiri tak terlepas dari jejak historis kerajaan katolik dan prosesi Semana Santa diwarisi bangsa Portugis ratusan tahun silam.
Kota di ujung timur pulau Flores menyajikan pemandangan yang indah. Air laut biru membelah di seberangnya ada Pulau Solor dan Pulau Adonara.
Diakui sebagai kota kerajaan katolik pertama dan terbesar seantero tanah air, Larantuka melahirkan kisah tentang seorang putera bernama, Padu Ile Pook Wolo, Raja Larantuka pertama.
Cikal bakal singkat Padu Ile Pook Wolo diceritakan Don Andreas Martinus Diaz Viera de Godinho (DVG), dinasti atau garis keturunan ke-22.
Di dalam ruang tamu terpampang atribut rohani katolik dan bingkai foto bersama tokoh-tokoh penting. Satu diantaranya gambar dirinya bersalaman dengan Presiden Joko Widodo tahun 2018.
Don DVG bertemu Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan bahwa Larantuka sebagai kerajaan katolik pertama dan terbesar di Indonesia. Kerajaan itu diklaim sudah berdiri berabad-abd sebelum kedatangan bangsa Portugis yang menyebarkan agama katolik.
"Kerajaan Larantuka tidak diangkat oleh Belanda atau siapapun, dia sudah ada sebelum mereka masuk kesini," katanya.
"Saya sampaikan itu ke Pak Jokowi bahwa yang terbesar adalah di Kerajaan Larantuka. Sampai sekarang kerajaan tetap eksis dan berdiri untuk mempertahankan iman umat katolik," ungkapnya.
Penyebaran agama katolik berawal ketika penjajah Portugis mencari rempah ke seluruh penjuru negeri. Sejumlah Padri atau misionaris dominikan mengajarkan agama katolik sejak pertama menjejakan kaki di ujung pulau yang mulanya disebut Cabo da Flora itu.
Kedatangan misionaris sejak abad ke-16 disambut sang Raja Larantuka. Sejak saat itu, raja punya peranan penting yang diakui sebagai pemegang kendali iman umat dibantu para anggota konferia dalam ibadat rohani, termasuk devosi Semana Santa yang melegenda.
"Raja Larantuka pada saat itu secara otoritas mewajibkan seluruh umat harus berdoa Rosario setiap hari pukul 18.00 Wita," katanya.
Sebagai orang nomor satu Kerajaan Larantuka, Don DVG bertugas memimpin 12 suku semana dan bertanggung jawab dalam menjalankan devosi prosesi Jumat Agung, mengenang kisah sengsara Yesus Kristus.
Dalam masa pra paskah selama tujuh minggu, ke-13 suku termasuk suku Raja Ama Koten DVG wajib menjalankan mengaji semana, kemudian konferia melakukan lamentasi saat pekan suci di gereja.
"Hari Rabu trewa konferia melaksanakan lamentasi, kemudian Kamis Putih perjamuan kudus, Jumat prosesi, Sabtu juga melaksanakan lamentasi sampai Minggu aleluya," katanya.
Devosi mengenang kisah sengsara Yesus Kristus dan penghormatan kepada Bunda Maria sudah mulai dipersiapkan bersama Keuskupan Larantuka dan Pemerintah Daerah Flores Timur.
"Tradisi religi semuanya dalam tanggung jawab raja, kemudian bersama pihak gereja melaksanakan prosesi," tutup Don DVG.
Advertisement