Mengenal 'Empty Sella Syndrome', Penyebab, Gejala hingga Penanganannya

Penyebab utama ESS primer adalah cacat pada diafragma sellae, membran yang menutupi sella turcica memungkinkan cairan serebrospinal masuk dan menekan kelenjar pituitari.

oleh Panji Prayitno diperbarui 23 Mei 2024, 12:00 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2024, 12:00 WIB
Mengenal Empty Sella Syndrome, Penyebab, Gejala Hingga Penanganannya
Ilustrasi otak manusia, mengidap empty sella syndrome. (Image by kjpargeter on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Empty Sella Syndrome (ESS) adalah kondisi medis yang terjadi ketika sella turcica, struktur tulang di dasar tengkorak yang menampung kelenjar pituitari, tampak kosong atau hanya sedikit berisi cairan serebrospinal dalam pencitraan medis.

Meskipun jarang terdengar di kalangan awam, kondisi ini memiliki implikasi penting bagi fungsi hormonal tubuh karena keterkaitannya dengan kelenjar pituitari yang berperan dalam mengatur berbagai hormon esensial.

ESS dapat dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan etiologinya yaitu primer dan sekunder. ESS Primer, Kondisi ini terjadi tanpa adanya gangguan atau intervensi sebelumnya pada kelenjar pituitari.

Penyebab utama ESS primer adalah cacat pada diafragma sellae, membran yang menutupi sella turcica. Cacat ini memungkinkan cairan serebrospinal masuk dan menekan kelenjar pituitari, menyebabkan kelenjar tampak menyusut atau menghilang dalam pencitraan.

ESS Sekunder, bentuk ini biasanya muncul setelah suatu intervensi atau gangguan pada kelenjar pituitari, seperti pembedahan, terapi radiasi, infeksi, trauma, atau tumor pituitari yang telah diangkat atau menyusut.

Pada ESS sekunder, kondisi ini merupakan hasil dari kerusakan atau penurunan volume kelenjar pituitari akibat tindakan atau penyakit sebelumnya. Gejala ESS bervariasi tergantung pada tingkat keterlibatan kelenjar pituitari dalam mengatur fungsi hormonal.

Beberapa orang mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun, sementara yang lain mungkin mengalami berbagai gangguan hormonal. Beberapa gejala yang mungkin muncul seperti, disfungsi pada kelenjar pituitari dapat menyebabkan defisiensi atau kelebihan hormon tertentu, yang dapat mengakibatkan berbagai masalah seperti hipotiroidisme, insufisiensi adrenal, atau gangguan pertumbuhan.

Gejala Hingga Penanganan

ESS sering dikaitkan dengan sakit kepala kronis yang mungkin berkisar dari ringan hingga berat. Tekanan dari cairan serebrospinal dapat memengaruhi saraf optik, menyebabkan gangguan penglihatan.

Kondisi di mana kelenjar pituitari tidak menghasilkan cukup hormon, menyebabkan gejala seperti kelelahan, penurunan libido, infertilitas, dan pertumbuhan yang terganggu pada anak-anak.

Penanganan Empty Sella Syndrome

Pengobatan ESS tergantung pada gejala yang dialami pasien. Jika tidak ada gejala yang signifikan atau gangguan hormonal, penanganan mungkin tidak diperlukan. Namun, jika ada gangguan hormonal atau gejala lain, beberapa pendekatan berikut dapat digunakan:

Pengobatan Hormonal

Jika ditemukan defisiensi hormon, penggantian hormon sintetis mungkin diperlukan untuk mengembalikan kadar hormon ke tingkat normal.

Manajemen Sakit Kepala

Pengobatan sakit kepala dapat mencakup analgesik, terapi fisik, atau pendekatan lain yang sesuai.

Penanganan Masalah Penglihatan

Jika terdapat tekanan pada saraf optik, intervensi bedah mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan tersebut.

Pemantauan Rutin

Pasien dengan ESS biasanya memerlukan pemantauan rutin untuk mengevaluasi fungsi kelenjar pituitari dan menyesuaikan pengobatan hormonal sesuai kebutuhan.

Empty Sella Syndrome adalah kondisi medis yang berhubungan dengan sella turcica yang tampak kosong dalam pencitraan medis, sering kali akibat tekanan dari cairan serebrospinal. Meskipun dapat tidak menunjukkan gejala, kondisi ini dapat memengaruhi fungsi hormonal kelenjar pituitari dan menyebabkan berbagai gejala klinis.

Diagnosis dan penanganan yang tepat memerlukan evaluasi medis yang komprehensif untuk memastikan pengelolaan yang efektif dan mengurangi risiko komplikasi yang mungkin timbul. Pemahaman yang lebih baik tentang ESS dapat membantu pasien dan tenaga medis untuk menghadapi kondisi ini dengan lebih baik.

 

Penulis: Belvana Fasya Saad

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya