Kuasa Hukum Guru Supriyani Beberkan Kesalahan Prosedur Penyidik Polisi dan Jaksa

Supriyani guru honorer di Konawe Selatan dituduh menganiaya seorang bocah SD hingga mengalami luka memar, Supriyani diminta uang Rp50 juta oleh penyidik Polsek Baito Konawe Selatan.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 28 Okt 2024, 16:29 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2024, 16:29 WIB
Sidang kedua Supriyani guru honorer di Konawe Selatan, Senin (28/10/2024).
Supriyani guru honorer di Konawe Selatan dituduh menganiaya seorang bocah SD hingga mengalami luka memar, Supriyani dimintai uang Rp 50 juta oleh penyidik Polsek Baito Konawe Selatan.

Liputan6.com, Kendari- Sidang kedua Supriyani guru honorer di Konawe Selatan, berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Senin (28/10/2024). Sidang dipimpin majelis hakim Stevie Rosano, Vivy Fatmawati dan Sigit Jati Kusumo. Agenda sidang, yakni pembacaan eksepsi atau nota keberatan.

Diketahui, Supriyani guru honorer di Konawe Selatan, dipenjara usai dituduh menganiaya anak SD kelas I SDN 4 Baito Konawe Selatan. Supriyani dipaksa mengaku memukul meskipun tidak pernah menganiaya bocah tersebut. Penyidik Polsek meminta Rp50 juta untuk penyelesaian kasus, namun Supriyani tak sanggup karena tak memiliki uang.  

Ketua LBH HAMI Sulawesi Tenggara sekaligus Kuasa hukum Supriyani, Andre Darmawan, mengungkapkan sejumlah kesalahan prosedur yang dilakukan oknum penyidik Polres dan Kejaksaan Negeri Konawe Selatan dalam menangani perkara. Andre, diketahui ditemani oleh kuasa hukum sidang sebelumnya, Samsuddin dan belasan orang lainnya.

Kesalahan yang diungkapkan kuasa hukum di dalam sidang kedua terkait kesalahan prosedural dalam penyidikan yakni:

1. Pada tanggal 5 Juli 2024, pemeriksaan terhadap saksi anak tidak didampingi oleh pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial. Hal ini dapat dilihat dalam BAP saksi anak yang mengaku dipukul.

2. Penyidik Polsek Baito baru meminta pendamping sosial ke Kadis Sosial Konawe Selatan sebagai saksi untuk anak yang mengaku dipukul pada tanggal 7 Juli 2024. Padahal, perkara sudah dilaporkan sejak 26 April 2024 dan penyidik sudah memeriska anak korban 3 orangg pada Juli 2024.

Hal ini, bisa dilihat dari surat Kaposek Baito tanggal 7 Juli 2024 perihal permintaan pendampingan anak.

3. Penyiidik polisi Polsek Baito Konawe Selatan tidak pernah meminta laporan sosial dari pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahhteraan sosial sebagaimana diwajibkan dalam pasal 27 ayat 33 UU nomor 11 tahun 2012 tentang penanganan perkara anak.

4. Laporan sosial terkait pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum yang dibuat oleh Novitasari SSos 18 Juli 2024 yang berstatus sebagai pekerja sosial tenaga kerja sosial perlindungan anak, adalah laporan palsu.

Andre mengungkap faktanya, Novitasari tidak pernah mendampingi korbann anak yang mengaku dipukul dan 2 anak lainnya saat diperiksa di polisi pada 5 Juli. Alasanya, karena penyidik baru meminta kepada Kadis Sosial Konawe Selatan untuk pendampingan anak dan sebagai saksi baru pada tanggal 7 Juli 2024.

Penyidik juga tidak pernah meminta pendampingan sosial atau pekerja sosial profesional setelah pengaduan, padahal perkara laporan sudah dari 24 April 2024.

5. Dalam melakukan penyidikan perkara, penyidik tidak pernah meminta saran dari pembimbing kemasyarakatan untuk pendampingan anak setelah laporan tindak pidana diadukan. Padahal hal ini, diwajibkan pada pasal 27 ayat 3 UU 11 tahun 2012 terkait penanganan perkara anak.

6. Balai Pemasyarakatan (Bapas) tidak pernah menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan kepada penyidik polisi dalam waktu 3x24 jam setelah tindak pidana. Padahal, hal ini diwajibkan setelah permintaan penyidik diterima.

Sikap Bapas ini terjadi karena faktanya penyidik polisi tidak pernah meminta kepada Bapas. Padahal, hal ini diwajibkan sebagaimana pasal 27 ayat 3 uu 11 tahun 2012 tentang penanganan perkara anak dalam kasus Supriyani. 

Andre menjelaskan, bahwa frasa wajib pada pasal 23 ayat 2, pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 UU nomor 11 tahun 2012 tentang penanganan perkara anak, dimaksudkan oleh pembentuk undang undang sebagai sesuatu yang wajib saat ditetapkan atau harus ditetapkan.

Sehingga, kalau tidak dilaksanakan yang bersangkutan dalam hal ini penyidik polisi dan jaksa harus dikenakan sanksi.

"Berdasarkan poin 4 terkait kesalahan prosedural, maka secara nyata telah terjadi pelanggaran serius terhadap prosedur penanganan perkara anak, sehingga penyidikan tidak sah," kata Andre.

Dia menilai, oknum penyidik polisi dalam kasus Supriyani di Konawe Selatan telah melanggar kode etik Polri sehingga penyidikan dianggap tidak sah.

Kasus Supriyani Guru Honorer di Konawe Selatan

Sebelumnya diberitakan, Supriyani (36) seorang guru di Konawe Selatan harus mendekam di Lapas Perempuan Kendari usai dipaksa mengakui telah menganiaya seorang bocah kelas II SDN 4 Baito Konawe Selatan. Sejak Rabu (16/10/2024), guru yang masih berstatus honorer itu, mendekam di balik jeruji besi.

Pada April 2024, setelah kasus bergulir di polisi, pihak Supriyani berupaya berdamai dengan keluarga bocah SD yang mengaku dipukul. Alasannya, dia membantah menganiaya bocah SD tersebut.

Namun, pihak orang tua murid, tidak mau mengamini permintaan guru honorer yang mengajar sejak 2009 itu. Kata pihak keluarga Supriani, orang tua bocah SD yang mengaku sempat meminta uang damai hingga Rp50 juta. Namun, Supriani tidak menyanggupi karena tak memiliki duit. Selain itu, Supriani juga tidak memukul korban. 

Supriyani hanyalah seorang guru honorer yang menerima insentif tiap tiga bulan sekali. Gajinya tiap bulan sebesar Rp 300 ribu. Belum lagi, dia harus menghidupi dua orang anaknya yang berumur 14 tahun dan 2 tahun. Sedangkan suaminya, hanyalah seorang petani di kampung.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya