Jokowi Telat Naikkan Harga BBM Subsidi, IHSG Bisa Terhempas

Kenaikan harga BBM Subsidi untuk membenahi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selama ini bengkak.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 15 Okt 2014, 18:35 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2014, 18:35 WIB
Sempat Pecahkan Rekor, IHSG Kini Anjlok
IHSG ditutup terkoreksi tajam 0,94% ke 5.197,12 pada perdagangan Selasa (9/9/14), setelah sempat ditutup di rekor tertinggi baru 5.246,48 pada Senin. (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan manajemen investasi Internasional, Schroders mengungkapkan, sebaiknya presiden terpilih, Joko Widodo harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada November tahun ini.

"Karena market meminta November," kata Intermediary Business Schroders Indonesia, Liza Lavina, di Jakarta, Rabu (15/10/2014).

Liza melanjutkan, kenaikan harga BBM subsidi penting. Pasalnya, kenaikan harga BBM Subsidi untuk membenahi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selama ini bengkak.

Selain itu, kenaikan harga BBM subsidi yang harus dilakukan oleh Joko Widodo harus sebesar Rp 3.000. Dengan nilai kenaikan tersebut, Joko Widodo mampu menghemat anggaran pemerintah sebesar Rp 150 triliun.

Ia menambahkan, Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi juga dapat membantu agar investor tetap mempertahankan dananya di pasar modal Indonesia.

Perekonomian yang sehat, Liza mengatakan, bisa menjadi pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia baik secara portofolio atau langsung. Dia mengingatkan, agar pemerintah jangan terlambat menaikkan BBM, seperti halnya yang telah dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menghempaskan pasar modal RI.

"Tapi kalau telat, pasar langsung sell off 26 persen," tandas dia.

Tantangan Pemerintahan Jokowi

Ia menuturkan, Jokowi juga mesti mengimplementasikan program-program yang telah tercantum pada visi misinya. Jokowi juga diharapkan dapat memilih para profesional sebagai menteri dalam struktur kabinetnya.

Namun demikian, dia mengakui pemerintah Jokowi akan berjalan tidak mudah. Pasalnya saat ini kursi DPR dan MPR dikuasai oleh kubu yang berseberangan.

"Saat ini Indonesia sama dengan India. Tahun ini sama-sama memiliki pemerintahan baru. Namun pemimpin India dapat dibantu oleh parlemen, maka market India jadi market tertinggi 25 persen," kata dia.

Akan tetapi dia mengatakan kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Menurut Liza,semakin bersebrangan maka masyarakat bisa memantau kebijakan yang ada. "Memang ada baiknya akan menjadi oposisi sangat aktif akan dilihat," tutup dia.  (Amd/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya