Tahun 1990-an, Fifty Shades of Grey Pasti Boleh Rilis di Bioskop

Atmosfer seperti apa yang kira-kira memungkinkan film Fifty Shades of Grey bisa rilis di bioskop kita secara resmi?

oleh Ade Irwansyah diperbarui 13 Feb 2015, 20:15 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2015, 20:15 WIB
Fifty Shades of Grey
Fifty Shades of Grey (fanpop)

Liputan6.com, Jakarta Mulai Jumat (13/2/2015) ini penduduk Bumi bisa menyaksikan salah satu film yang paling dinanti tahun ini: Fifty Shades of Grey.

Namun, tak semua orang bisa menonton film tersebut. Negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti Malaysia dan Indonesia, tak memutar film itu di bioskop. Jumat pekan lalu, Malaysian Film Censorship Board (Badan Sensor Film Malaysia) mengumumkan Fifty Shades of Grey dilarang tayang.

Sementara itu, di hari yang sama, pihak distributor United International Pictures Indonesia (UIP) juga mengumumkan film yang sama tidak akan tayang di bioskop Indonesia. "Film Fifty Shades of Grey tidak akan ditayangkan di Indonesia karena tidak sesuai dengan kriteria penyensoran. #FiftyShades," kicau akun Twitter resmi UIP Indonesia.

Well, kabar itu sama sekali tak mengejutkan. Sudah sejak awal banyak yang mengira Fifty Shades of Grey memang tak bakal tayang resmi di bioskop sini. Justru bakal mengejutkan kalau filmnya bisa tayang.

Namun, tahukah Anda, andai rilis tahun 1990-an, Fifty Shades of Grey mungkin sekali bisa tayang di bioskop kita. Maka, pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah: atmosfer seperti apa yang kira-kira memungkinkan film drama erotis macam Fifty Shades of Grey bisa rilis resmi di bioskop waktu itu?

Film Indonesia 1990-an

Hmm, generasi yang tumbuh di tahun 1990-an tentu masih teringat dengan kurun waktu yang kerap disebut zaman kegelapan film Indonesia. Selama hampir sepuluh tahun, film Indonesia dibilang mati suri.

Film Indonesia masih terus dibuat. Namun jumlahnya sedikit. Selain itu jenis yang dibuat pun bikin merinding dan panas dingin. Yakni, film-film panas yang mengedepankan seks. Orang waktu itu menyebutnya film esek-esek.

Di tahun 1990-an itu bioskop diisi film-film dengan judul macam Gadis Metropolis, Gairah Malam, Kenikmatan Tabu, Kabut Asmara, Permainan Tabu, Ranjang yang Ternoda, Godaan Membara, Cinta & Nafsu, Lampiasan Nafsu, Hukuman Zinah, Bergairah di Puncak, serta masih banyak lagi yang semacam itu.

Penonton film Indonesia kenal dengan bintang-bintang panas kala itu seperti Lela Anggraeni, Sally Marcelina, Kiki Fatmala, Febby Lawrence, Malvin Shayna, Inneke Koesherawaty, Windy Chindyana dan beberapa nama lain.

Maka, mudah saja logikanya, jika film esek-esek lokal saja bisa rilis di bioskop, seharusnya tak ada masalah dengan film erotis dari Hollywood. Yang perlu Anda tahu pula, di tahun 1990-an lampau dan era sebelumnya, film-film panas dari Hollywood macam Body of Evidence, Basic Instinct, serta Sliver bisa beredar di bioskop.

Secara Formal Kita Tak Lagi Permisif

Lantas, jika di tahun 1990-an bioskop kita permisif dengan film panas, kenapa pula sekarang tampak anti film macam begitu?

Hmm, jawabnya tentu saja kondisi masyarakat yang berubah. Saat ini, tak bisa dipungkiri, kesadaran untuk beragama lebih kental dibanding era 1980-an atau 1990-an. Saat ini perempuan berjilbab sudah jamak, tak seperti tahun 1980-an atau 1990-an. Dengan pasar umat Islam berjumlah 112 juta jiwa, gaya hidup islami kian menderu. Salah satunya, tak dipungkiri, secara formal kita tak lagi permisif dengan seks.

Walau mungkin saat ini tingkat pergaulan bebas lebih parah dari 1980-an atau 1990-an, secara formal soal seks masih tabu. Di media, orang kian risih melihat orang lain pamer kemesraan seperti ciuman atau adegan ranjang. Oleh karena itu, KPI kerap menjatuhkan teguran bila ada film atau sinetron di TV yang memperlihatkan kemesraan pelakonnya dengan berlebihan.

Sedangkan untuk layar lebar, film jenis esek-esek tak lagi dibuat sineas kita. Kalaupun masih ada yang membandel, produser biasanya membalutnya dengan kemasan horor.

Walau tak lagi terang-terangan dan formal permisif pada seks, perkembangan teknologi tak bisa membendung masyarakat untuk tidak nonton versi film Fifty Shades of Grey. Pangkal soalnya, sudah sejak lama Indonesia juga terimbas demam novelnya. Meski tak ada versi terjemahannya, buku karangan EL James itu dijual bebas di toko buku.

Selain itu, media yang sejak dulu menganggap berita-berita berbau seks pasti mengundang pembaca, menambah kehebohan dengan selalu memberitakan perihal Fifty Shades of Grey.

Ini artinya, sejak awal masyarakat kita sudah kenal dengan judul tersebut. Tidak menayangkan di bioskop resmi hanya menunda rasa penasaran orang yang pasti terobati dengan rilis DVD bajakannya, unduhan gratis di dunia maya, nonton streaming di situs berbagi film gratis, atau menunggu versi lebih sopan di saluran TV berbayar.

Ya, kebanyakan dari kita harus gigit jari sebentar tak bisa melihat aksi erotis Jamie Dorman dan Dakota Johnson sebagai tokoh Christian Grey dan Anastasia Steele. Tapi hanya sebentar saja, kok. Beberapa bulan lagi kebanyakan dari kita sudah bisa menonton Fifty Shades of Grey.** (Ade)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya