Liputan6.com, Jakarta Entah apa yang ada di pikiran Jerinx ketika ratusan fans memenuhi Camden Bar, Kemang, Jakarta pada 23 Oktober 2015 lalu. Padahal, saat itu Jerinx sedang tidak membawa nama Superman Is Dead, melainkan Devildice yang tak lain merupakan salah satu nafas lainnya dalam bermusik.
"Ini adalah salah satu malam terbaik saya di tahun 2015," seru Jerinx di malam tersebut.
Advertisement
Kalau sedikit melihat sejarahnya, Devildice sendiri terbentuk di 1997, dua tahun setelah kelahiran Superman Is Dead di Bali. Band yang jadi salah satu lini depan penolak Reklamasi Teluk Benoa ini terbentuk setelah Jerinx tergila-gila dengan karya-karya Social Distortion.
Baca Juga
Sadar kalau beberapa karya yang diciptakannya tidak akan cocok dengan gaya bermusik Superman Is Dead, Jerinx lantas memutuskan untuk membuat sebuah band lewat nama Culture of Fire.
Tahun demi tahun, Culture of Fire kemudian berevolusi menjadi Devildice dan meluncurkan album pertama mereka yang bertajuk In The Arms Of The Angel. Album ini dijual dalam jumlah terbatas dan belakangan jadi salah satu album yang paling dicari di ranah musik Indie.
Kembali ke panggung Camden Bar, Liputan6.com sempat berkunjung ke lokasi untuk mengintip persiapan Devildice.
Band yang digawangi Jerinx [vokal, gitar], Sony [gitar], July [Bass], Jembo [drum], dan Fahmi [trumpet] itu terlihat serius melakukan checksound. Jerinx bahkan sempat menyanyikan salah satu lagu andalan Devildice yang diberi tajuk Diamond are Forever.
Lantas, seperti apa aksi di balik panggung Devildice yang terpilih jadi Indie of the Month periode November 2015? Simak videonya berikut ini: