Liputan6.com, Jakarta - Setelah lama absen, Candyman kembali ke bioskop. Disutradarai oleh Nia DaCosta, Candyman adalah sekuel dari film asli tahun 1992 hasil adaptasi dari cerita pendek milik Clive Barker berjudul The Forbidden.
Sama seperti kisah Barker, kedua film Candyman telah berhasil memadukan urban legend 'nyata' dengan narasi baru yang menarik. Legenda urban Candyman dikaitkan dengan Bloody Mary karena cara untuk menghadirkannya dengan menyebut namanya beberapa kali.
Advertisement
Dilansir The Conversation, Rabu (27/10/2021) kisah dalam film ini juga merujuk pada legenda urban yang tersebar luas serta berpengaruh secara budaya, khususnya di Amerika, berakar dari kisah Roma kuno yang meluas. Faktanya, film asli Candyman pada 1992 telah membuat pengaruh yang baik (bagi Candyman) karena berhasil membuatnya menjadi ikon horor baru.
Orang mungkin tidak takut pada pembunuh Freddy atau Jason bila dibandingkan dengan Candyman. Pasalnya, Candyman bisa datang ke rumah jika dipanggil sebanyak lima kali di depan cermin. Ada yang berani mencobanya?
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Variasi Kisah Legenda Urban Candyman
Film aslinya menyajikan satu latar belakang tentang Candyman. Dia adalah seorang putra dari pria berkulit hitam yang dibunuh oleh gerombolan kulit putih pada akhir abad ke-19 karena hubungannya dengan putri seorang putri pria kulit putih yang kaya (cerita latar belakang yang dibuat oleh aktor Candyman Tony Todd).
Film baru ini menyajikan beberapa versi dari legendanya, yang ditonjolkan adalah Candyman merupakan seorang pria yang dibunuh polisi setelah dicurigai menaruh pisau silet dalam permen yang diberikan kepada seorang anak kulit putih. Peristiwa film pertama (secara tidak akurat) diceritakan kembali oleh satu karakter sebagai karakter lain dari legenda yang digambarkan di layar dengan wayang kulit yang mencolok oleh Manual Cinema.
Kehadiran beberapa versi cerita adalah ciri khas legenda urban. Tidak ada satu pun versi nyata dari Bloody Mary. Bentuk dan kisahnya bervariasi menyesuaikan tempat, populasi, dan waktu. Yang menarik adalah bagaimana cara ini terjadi dan apa yang membuat beberapa versi lebih menonjol dari versi lainnya.
Anda mungkin mengenal Bloody Mary, hantu yang dipanggil dengan menyebutkan namanya di cermin dan akan melakukan sesuatu yang berbahaya terhadap yang memanggilnya. Bloody Mary juga difilmkan, tetapi tidak sesukses Candyman.
Dalam kisah asalnya, dia sering digambarkan sebagai korban kekerasan berbasis gender. Misalnya, dalam satu kisah dia adalah hantu seorang wanita cantik yang mati kehabisan darah setelah wajahnya disayat. Sementara itu, kisah lain mengatakan bahwa dia adalah ibu dari bayi yang dibunuh.
Sama halnya dengan Candyman, dalam beberapa versi legenda yang disajikan dalam film Candyman 2021, ia ditampilkan sebagai korban kekerasan bermotif rasial yang berulang sepanjang sejarah.
Versi Bloody Mary juga telah diadaptasi agar lebih sesuai dengan lokasi atau populasi tertentu. Di Tennessee, legenda tersebut mengatakan Bloody Mary dengan nama Bell Witch (Penyihir Lonceng), seorang tokoh dari cerita rakyat setempat. Di wilayah latin, ada yang dikenal dengan La Llorona, wanita menangis dari cerita rakyat Hispanik (juga didokumentasikan dalam film The Curse of La Llorona pada 2019). Kedua wanita tersebut adalah tokoh folkloric yang mendahului versi Bloody Mary, tetapi digabungkan dengan legenda untuk menarik ketakutan lokal.
Advertisement
Ancaman Non-spiritual
Candyman juga memasukkan ancaman sosial non-supranatural yang lebih didasarkan pada realitas lingkungan kita. Peneliti film menemukan informasi sosial lebih kuat daripada informasi kelangsungan hidup dalam legenda urban.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa relevansi adalah yang paling penting. Candyman terbaru menggambarkan isu-isu sosial yang selalu relevan seperti kecemasan kelas sosial, gentrifikasi, dan kekerasan bermotif rasial. Film ini membawa kekerasan historis bermotivasi rasial dari film aslinya dengan kuat ke abad ke-21, membuatnya secara langsung relevan dengan keprihatinan kontemporer tentang kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam.
Â
Penulis: Anastasia Merlinda