Liputan6.com, Jakarta “Dek, kayaknya jadi seperti itu keren deh,” kata seorang asisten rumah tangga bertahun-tahun lalu kepada Djati Darma yang masih duduk di bangku sekolah, menunjuk sesosok penyiar berita yang muncul di TV. Menurut sang ART, sang news anchor tampak keren dengan setelan jas rapi dan kecerdasannya.
Saat itu, Darma cilik tak begitu mengindahkan perkataan sang ART. Namun, entah bagaimana, interaksi di sela makan malam itu meresap di ingatannya hingga sekarang.
Advertisement
Dan kini, Djati Darma adalah seorang news anchor berpengalaman di Liputan6 SCTV dan telah makan asam garam dalam dunia jurnalistik.
Advertisement
Mengalir seperti dibawa oleh aliran takdir, begitulah perjalanan pria kelahiran Surabaya, 10 Mei 1984 ini dalam dunia jurnalistik. Dalam wawancara daring dengan Showbiz Liputan6.com baru-baru ini, ia mengungkap bahwa awal mula perjalanannya di bidang ini bisa dibilang berawal saat masih duduk di bangku sekolah.
“Dari kecil, ketika teman-teman saya saat diminta membaca, mereka masih membaca dengan bernada (monoton), saya enggak seperti itu,” kata dia. Saat tiba waktunya belajar di rumah, ia juga kerap memilih untuk membaca Lembar Kerja Siswa atau LKS.
“Kalau dalam bahasa Indonesia itu kan setiap bab dimulai dengan prosa atau cerita. Itu bab satu sampai terakhir, saya selalu baca sampai selesai,” kata dia.
Kebiasaan ini ternyata mengantarkannya pada “petualangan” kompetisi membaca berita saat duduk di bangku SMA. “Waktu itu saya di Surabaya saat SMA. Jadi banyak sekali kompetisi seperti itu, dari kelas 1 sampai 3,” kata dia. Oleh guru-guru, ia bahkan sudah dikenal sebagai wakil sekolah untuk kompetisi seperti itu.
Kompetisi yang paling berpengaruh padanya, digelar saat ia duduk kelas 3 SMA, jelang lulus. Saat itu, Universitas Kristen Petra membuat lomba membaca berita TV untuk memperkenalkan Jurusan Komunikasi di sana. Ternyata, anak kedua dari dua bersaudara ini meraih peringkat pertama dan salah satu hadiahnya, adalah bebas uang kuliah untuk semester pertama bila berkuliah di tempat ini.
Sebelum menang, Darma sebenarnya sempat berpikir untuk kuliah di jurusan arsitektur atau kedokteran. Namun kemenangan ini menjadi titik balik dirinya untuk masuk dunia jurnalisme penyiaran.
“Begitu saya menang, saya bilang, ‘Oke Ma, Pa, aku mau masuk Komunikasi’. ‘Kamu mau kerja apa?’ ‘Aku mau kerja di TV’,” kata Darma, mengulang dialog mereka kala itu.
Terjun ke Dunia Jurnalistik pada 2007
Bukan di Surabaya, Djati Darma akhirnya justru masuk D-3 Broadcasting di Universitas Indonesia pada 2002, atas saran dari budenya. “Kamu kalau mau kerja di TV, harus di Jakarta dong. Kan TV semua di Jakarta,” kata Darma menirukan ucapan budenya.
Di kampus, rupanya ia bertemu dengan banyak tokoh penyiaran, termasuk Riza Primadi—news anchor Angkatan awal di Liputan6. “Liputan6 Petang itu mengudara pertama kali dengan presenternya beliau,” tuturnya. Setelahnya, ia meneruskan S1 di Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Saat mulai mengerjakan skripsi, ada teman yang mengajaknya untuk melamar ke stasiun TV Astro Awani yang sedang membutuhkan presenter pria untuk siaran beritanya. “Tahun 2007, akhirnya resmi saya terjun sebagai seorang jurnalis,” tuturnya.
Sayang, Astro akhirnya tutup pada 2009, dan Darma mengalami nasib pahit, di-PHK. Ia mulai lagi dari awal untuk menembus dunia penyiaran Tanah Air. “Selama 11 bulan setelah di Astro saya sempat nganggur,” kata pria dengan hobi menyanyi dan bermain piano ini.
Meski sulit, ia berkukuh untuk tetap bertahan di Ibu Kota—bahkan menolak tawaran kerja yang memintanya kembali ke Surabaya. “Dan memang ternyata jodoh saya itu di SCTV…Saya join itu pada 2010,” tuturnya.
Advertisement
Terombang-ambing di Laut 17 Jam
Begitu masuk Liputan6 SCTV, apakah Djati Darma langsung diposisikan di studio ber-AC dengan jas rapi sebagai news anchor? Ternyata tidak.
“Saya mau bener-bener dari lapangan dulu. Saya pengen jadi reporter dulu. Akhirnya full satu tahun saya di lapangan. Pokoknya saya disuruh ke mana, saya iyain aja,” kata dia.
Ia memilih jalan ini bukan tanpa alasan. “Saya ngerasa waktu di Astro Awani saya baru sebentar di lapangan, sesekali saya ke lapangan dan selebihnya siaran. Saya merasa jadi jurnalis harus mateng di lapangan,” jelasnya.
Akhirnya, ia terjun dalam berbagai jenis penugasan, termasuk yang paling menantang baginya: liputan bencana gempa bumi dahsyat di Mentawai pada 2010. Tugas ini membuatnya merasakan pengalaman perdana naik pesawat Hercules dan menginap di kantor KUA.
Namun kejadian yang paling bikin ketar ketir adalah saat ia terombang-ambing selama 17 jam di atas kapal di Samudra Hindia, tak bisa menepi ke daratan karena terjebak badai. Hebatnya lagi, setelah tiba dengan selamat di daratan ia masih menyanggupi permintaan untuk siaran langsung.
“Jadi hari itu saya masih kerja lagi,” kata dia sambil tertawa lalu menambahkan, “Tapi itu yang menempa saya.”
Cerita Bersama Bu Retno, Bu Sri, dan Pak Bas
Ketika ditanya mengenai narasumber yang paling berkesan bagi Djati Darma, muncul tiga nama Menteri Kabinet Indonesia Maju: Sri Mulyani, Retno Marsudi, dan Basuki Hadimuljono.
“Ibu Menlu saat saya wawancara, wah orang ini benar-benar pinter sih. Alhamdulillah beliau juga enggak jaga jarak,” kata Darma mengenai Retno Marsudi. Bahkan ia mendapati fakta lain saat ngobrol bersama wanita yang kini menjadi Utusan Khusus PBB tersebut sebelum syuting.
“Ternyata beliau itu seperti emak-emak pada umumnya, misalnya yang enggak bisa lihat kotor-kotor,” kata dia.
Sementara saat mewawancara Sri Mulyani untu program Point of View, rupanya mood sang Menteri Keuangan sedang kurang baik. “Padahal Point of View itu kan harus cair. Alhamdulillah, sebelum syuting mood Ibu membaik,” kata dia.
Ia menambahkan lagi, ”Happy-nya lagi, ini kemudian di-posting di Instagram beliau. Itu kolase foto saya lagi ketawa ngakak, beliau juga tertawa. Saya senangnya adalah bisa menggambarkan sisi lain sang ibu.”
Adapun Basuki Hadimuljono benar-benar menjadi sosok terkesan baginya, karena sulit sekali ditembus untuk wawancara. Sampai akhirnya gayung bersambut setelah masa jabatan Pak Bas habis sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berakhir, dan ia menjabat Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. Proses wawancara, dilakukan di IKN.
“Saya seharian sama beliau. Berkesan banget saya dapat eksklusif Pak Bas masuk Istana Presiden di IKN, which is belum ada TV lain, belum ada media lain yang ekspos itu. Kita benar-benar room tour, ke kantor Presiden tempat Pak Jokowi bekerja waktu itu,” kata dia.
Setelah wawancara, Pak Bas bahkan mengungkap bahwa ia merasa puas dan senang. “Itu kayak kepuasan seorang anchor pewawancara ada di hal-hal seperti itu. Kecil, tapi buat saya luar biasa,” tuturnya.
Advertisement