Liputan6.com, Jakarta - Setiap 14 Agustus diperingati Hari Pramuka. Pramuka yang merupakan gerakan praja muda karana ini memiliki sejarah panjang. Ada juga sejumlah tokoh dibalik lahirnya Hari Pramuka.
Nah, salah satu tokoh pramuka juga ada yang asalnya dari Surabaya. Tokoh itu ialah Bung Tomo, pahlawan yang juga sangat berjasa pada kota kelahirannya tersebut. Lalu, bagaimana ceritanya pramuka bisa hadir di Indonesia? Ditelusuri dari berbagai sumber, Liputan6.com merangkum tentang lahirnya hari pramuka.
Gerakan kepanduan pramuka pertama kali dikembangkan oleh Lord Boden Powell. Powel membuat suatu gerakan untuk membina pemuda di Inggris. Singkat cerita, Powel menulis sebuah buku berjudul ‘Aids to Scouting’, buku tersebut kemudian dijadikan pedoman bagi tentara muda Inggris untuk melakukan tugasnya.
Advertisement
Baca Juga
Setelah itu, pimpinan brigade Inggris meminta Powell untuk melatih anggotanya. Pada 1908, Powel kembali menulis buku yang isinya terkait dengan pengalamannya dalam latihan kepramukaan. Bukunya itu bertajuk ‘Scouting for Boy’, dengan cepatnya buku itu dapat tersebar di Inggris hingga ke negara lain, termasuk di Indonesia.
Gerakan kepanduan pramuka di Indonesia dibawa oleh Belanda yang kala itu menjajah negara ini. Lalu pada 1912 berdirilah gerakan kepanduan di Hindia Belanda yang dinamakan Nederlands Padvinders Vereeniging (NPV).
Dalam perkembangannya, pemimpin-pemimpin gerakan nasional membentuk organisasi kepanduan. Dalam waktu singkat mencuatlah berbagai organisasi kepanduan, diantaranya Javaanse Pavinders Organizatie (JPO), Jong Java Padvindery (JJP), Nationale Islamitsche Padvindery (NATIPIJ), dan Sarekat Islam Afdeling Padvindery (SIAP).
Sukarno yang pada saat itu menjabat sebagai presiden meminta untuk dilakukannya penggabungan semua organisasi dalam satu wadah. Permintaan Sukarno itu atas dasar ingin menyatukan organisasi gerakan pemuda yang ada di Indonesia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Selanjutnya
Kemudian dibentuklah panitianya yang terdiri dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Prijono, Achmadi, Moeljadi Djojomartono, dan Azis Saleh. Dari kepanitiaan tersebut, lahirlah Keppres Nomor 109 Tahun 1961 tertanggal 31 Maret 1961.
Adanya Keppres itu pun sempat menuai kontroversi, karena Hamengkubuwono IX, Azis Saleh, dan Moeljadi Djojomartono tidak terlibat di dalam pembuatannya. Ada anggapan Keppres itu bermuatan ideologi tak sesuai Pancasila, karena peran Prijono dan Achmadi pada saat itu dianggap beraliran komunis.
Ketika Azis Saleh mengetahui hal tersebut, ia segera menjumpai Sukarno dan menjelaskan perihal Keppres yang bermasalah yang ternyata sudah ditandatangani oleh Sukarno. Setelah Sukarno mendengar masalah itu, ia lekas memerintahkan untuk tidak menerbitkan Keppres tersebut.
Kemudian, diganti dengan Keppres Nomor 238 pada 1961. Ketika Keppres Nomor 238 sudah dibuat, aturan ini tidak bisa segera ditandatangani oleh Sukarno, karena ia sedang berada di luar negeri.
Akhirnya, Keppres Nomor 238 dibawa kepada Perdana Menteri Djuanda. Saat itu, Djuanda merupakan perdana menteri terakhir di sistem pemerintahan parlementer 1957-1959, sekaligus sebagai pencetus Deklarasi Djuanda.
Djuanda awalnya belum bersedia menandatangani Keppres Nomor 238 itu, karena ia belum mengetahui maksud dari penandatanganan undang-undang tersebut. Sesaat setelah mendengar penjelasan dari Aziz Saleh terkait Keppres Nomor 238, Djuanda menghubungi Sukarno untuk mengonfirmasinya.
Selepas mendapatkan izin dari Sukarno, akhirnya Djuanda bersedia untuk menandatangani Keppres itu. Dikutip dari pramuka.ulm.ac.id, pada 1961 Sukarno melantik Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas), Kwarnas, Kwarnari di Istana Negara.
Pelantikan ini kemudian disusul penganugerahan Panji-panji Kepramukaan dan akbar oleh anggota pramuka di Jakarta. Sederet peristiwa itu menjadi penyebab ditetapkannya 14 Agustus sebagai Hari Lahirnya Pramuka.
(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)
Advertisement