Liputan6.com, Malang - Sudah tiga tahun silam temuan situs petirtaan dan artefak purbakala berupa batu lumpang kuno di kawasan Joyosuko, Merjosari, Kota Malang dilaporkan. Namun, selama itu pula nyaris belum ada upaya penyelamatan benda purbakala tersebut.
Situs petirtaan, batu lumpang dan fragmen batu bata merah kuno terletak di lereng Bukit Puthuk, dekat persawahan penduduk. Kini, sinyal penyelamatan mulai tampak setelah tim ahli cagar budaya dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang datang ke lokasi.
Advertisement
Baca Juga
Semua berkat warga setempat yang menginisiasi. Mengundang dua institusi itu hadir melihat langsung. Warga melihat keberadaan situs juga berkaitan dengan jejak peradaban lama di Malang. Serta ingin mengembangkan kampung sebagai kampung budaya.
"Warga punya niat untuk menata kampung berbasis potensi yang ada. Termasuk melestarikan situs purbakala yang ada di sini,” kata Luthfi Jayadi, seorang tokoh warga Joyo Suko, Merjosari di Malang, Selasa, 11 Agustus 2020.
Warga menginginkan sisa–sisa peradaban lama itu terus dilestarikan. Diselamatkan dari kemungkinan gencarnya pembangunan permukiman baru oleh pengembang. Agar anak–anak mereka bisa belajar dan tahu sejarah kampung dan peradaban kuno di Malang.
Situs petirtaan dan artefak purbakala berada antara Dusun Gandul dan Clumprit, Kelurahan Merjosari. Tak jauh daerah aliran Sungai Metro, yang kerap disebut sebagai salah satu kawasan peradaban purba. Ada yang menyebut peradaban tertua di Jawa Timur.
Di sekitar lokasi ini turut ditemukan tiga buah lumpang batu kuno, beberapa batu bundar atau biasa disebut warga watu tampah. Dua buah yoni tanpa lingga serta sebaran fragmen batu bata merah kuno. Mengindikasikan di sini pernah ada peradaban lama.
Temuan petirtaan yang kemudian disebut sebagai Petirtaan Merjosari ini semula dilaporkan oleh Komunitas Jelajah Jejak Malang. Salah satu komunitas di Kota Malang yang giat pada upaya konservasi benda kepurbakalaan.
Upaya Penyelamatan
Sekretaris tim ahli cagar budaya Kota Malang, Agung Buana mengatakan, temuan situs purbakala dilaporkan sejak 2017 silam. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur juga sudah mengidentifikasi.
“Balai Arkeologi Yogyakarta juga sudah mengeluarkan hasil kajian akademis,” ujar Agung Buana di Malang, Senin, 10 Agustus 2020.
Hasil kajian menunjukkan petirtaan ini memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai cagar budaya. Agung menyebut situs belum dimasukkan ke dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. Ia menyarankan Dinas Kebudayaan dan Pendidikan segera memproses.
“Agar bisa segera ditetapkan. Sebab keberadaan situs juga terancam dengan aktivitas pengembang perumahan,” ujar Agung.
Serta mendata luas tanah dan status kepemilikannya tempat Petirtaan Merjosari itu berada. Ini penting untuk menentukan langkah selanjutnya untuk penyelamatan. Agar bisa diikuti proses pengajuan penetapan sebagai cagar budaya.
Advertisement
Identifikasi Kesejarahan
Komunitas Jejalah Jejak Malang, yang kali pertama melaporkan temuan situs itu, sudah menyusun kajian kesejarahan. Hasil kajian menunjukkan situs dan kawasan ini telah ada jauh sebelum masa Singasari.
Diduga, petirtaan ini dulunya dikategorikan sebagai Madya Patirthan, yakni sebuah tempat dengan sumber air yang disucikan. Fungsinya, mendukung kegiatan keagamaan sekaligus untuk memenuhi kegiatan sehari-hari.
Dugaan itu diperkuat keberadaan yoni di sekitar petirtaan. Lokasinya tidak jauh dari beberapa situs purbakala yang kini sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Yakni situs Watu Gong, Candi Badut sampai Candi Gasek yang seluruhnya peninggalan Kerajaan Kanjuruhan.
Sekilas, patirthan tampak sederhana berstruktur terasiring terkesan alami. Bentuk dasar serta saluran airnya terbuat dari batu padas yang dikeruk. Bata merah kuno di sekitar lokasi situs jadi penanda dahulu di sini ada bangunan. Sumber pancuran airnya tepat di bawah bukit.
Lokasi petirtaan yang menghadap Sungai Metro, sebuah sungai suci bagi masyarakat masa lampau. Menandakan lokasi ini dahulu merupakan daerah sakral serta religius. Kesimpulan awal, petirtaan dibangun untuk mendukung kegiatan keagamaan masa itu.