Liputan6.com, Malang - Mpu Purwa, seorang pujangga Buddha aliran Mahayana, bertapa di Panawijen. Ia mempunyai anak perempuan bernama Ken Dedes. Kecantikan putri tunggal sang mpu itu termasyhur dari sebelah timur Gunung Kawi sampai Tumapel.
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung turut mendengar kabar kecantikan tiada banding tersebut. Datanglah sang akuwu ke Panawijen, untuk bertemu Ken Dedes. Terpesona, ia bawa lari gadis itu. Kebetulan saat itu Mpu Purwa sedang tidak ada di pertapaannya.
Mpu Purwa pulang bepergian. Tidak menjumpai putrinya yang sudah dibawa kabur Tunggul Ametung. Ia marah, mengeluarkan sumpah kutukan. “Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan. Semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya,”
Advertisement
Baca Juga
“Demikian juga orang-orang di Panawijen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini. Dosanya mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan,” kata Mpu Purwa.
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung menjadikan putri cantik itu sebagai permaisurinya. Kelak sang akuwu dibunuh Ken Arok dengan keris Mpu Gandring. Sekaligus memperistri Ken Dedes yang sedang dalam kondisi hamil muda.
Sebuah kisah tentang salah satu bab awal muasal Kerajaan Singasari berdiri. Kisah itu dimuat dalam Serat Pararaton yang ditulis pada 1613 masehi tanpa diketahui siapa penulisnya. Desa kuno Panawijen, tempat pertapaan Mpu Purwa itu masih ada sampai sekarang.
Jejak arkeologi pertapaan Mpu Purwa, tempat Tunggul Ametung menculik Ken Dedes itu masih ada. Bisa dilihat di Situs Polowijen di Kelurahan Polowijen, Kota Malang. Berupa sumber air yang sudah mengering, penduduk setempat menamainya Sendang Dedes atau Sumur Windu.
Jejak Desa Kuno
Sendang Dedes alias Sumur Windu di Kampung Polowijen itu sudah dipugar. Penduduk setempat pada awal tahun 2000-an membangun cungkup dan tembok mengelilingi areal situs itu. Ironisnya, niat baik merawat dan melestarikan justru merusak cagar budaya tersebut.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menyayangkan pembangunan cungkup itu. Sebab niat baik itu malah bisa merusak berbagai peninggalan cagar budaya lainnya di sekitar Situs Polowijen.
“Pelestarian yang tidak tepat bisa memusnahkan pusaka budaya. Sekecil apapun peninggalan yang ada di sana itu bisa jadi informasi yang sangat berharga,” kata Dwi Cahyono.
Di sekitar situs itu masyarakat kerap menemukan bekas arung atau saluran bawah tanah untuk mengairi sawah. Di areal situs masih ada artefak berupa watu kenong dan lumpang batu berbahan batu andesit. Dulu ada beberapa artefak, sayangnya banyak yang sudah hilang.
Desa Panawijen atau Panawijyan di mana pertapaan Mpu Purwa berada, tempat Ken Dedes diculik Tunggul Ametung ini adalah desa kuno. Pada abad 10 Masehi telah menjadi sebuah desa pertanian yang maju berstatus sima atau bebas pajak.
Desa ini disebut dalam prasasti Wurandungan dan prasasti Kanyuruhan B yang sama – sama berangka tahun 943 masehi. Diperkirakan pertapaan Mpu Purwa juga jadi tempat pembelajaran agama. Masa peralihan dari Hindu ke Buddha aliran Mahayana.
“Ini adalah salah satu situs penting. Semoga kelak, Pemkot Malang berbuat bijak ke arah konservasi sejarah dan budaya di sini,” ujar Dwi Cahyono.
Advertisement
Belum Cagar Budaya
Pemerintah Kota Malang pada 2017 sudah mendata sekitar 212 cagar budaya. Sebagian besar berupa bangunan, struktur bangunan maupun kawasan bersejarah. Puluhan di antaranya sudah resmi ditetapkan sebagai cagar budaya pada awal tahun ini.
Meski demikian Situs Polowijen atau Sendang Ken Dedes belum didaftarkan dalam sistem registrasi cagar budaya. Sebab situs ini tidak termasuk dalam ratusan cagar budaya yang sudah didata Pemkot Malang.
“Iya, itu memang belum masuk dalam data cagar budaya kami. Mungkin secepatnya,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni.
Padahal berjarak beberapa langkah kaki dari Sendang Ken Dedes, terdapat pemakaman umum Polowijen. Di pemakaman ini ada makam Tjondro Suwono atau lebih dikenal dengan Mbah Kiai Reni, seniman Topeng Malangan di awal tahun 1900-an.
Dengan demikian, kawasan Kampung Polowijen ini juga menjadi salah satu kampung bersejarah dan budaya. Beruntungnya, di kampung ini berkali – kali digelar kegiatan kebudayaan oleh masyarakat setempat.
“Kami sudah sering mendukung kegiatan kampung budaya. Soal pendataan situs akan segera dilakukan,” ucap Ida Ayu.