Brexit adalah kampanye untuk referendum keanggotaan Inggris Raya di Uni Eropa yang digelar 23 Juni 2016. Kampanye Brexit mendukung langkah Inggris Raya untuk keluar dari Uni Eropa. Keanggotaan Inggris Raya di Uni Eropa ini terus menjadi topik perdebatan di Inggris Raya sejak perserikatan negara-negara tersebut bergabung pada 1973.
Hasil Referendum
Referendum melibatkan seluruh warga Inggris Raya yang cukup umur. Hasilnya, 51,89 % penduduk Inggris Raya menginginkan keluar dari Uni Eropa. Referendum ini diikuti oleh lebih dari 30 juta penduduk yang memiliki hak suara (71,8%). Presentase partisipasi dalam pemilihan ini merupakan yang tertinggi sejak pemilihan umum 1992.
Penentu Nasib Brexit
Inggris menjadi penentu utama nasib Inggris Raya di Uni Eropa. 53,4 % penduduknya memilih untuk cerai dari Uni Eropa, sama halnya dengan Wales. Sementara itu, Skotlandia dan Irlandia Utara memilih untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa.
Siapa Pelopor Brexit?
Brexit dipelopori oleh United Kingdom Independence Party (UKIP). Setelah memenangi pemilihan umum Mei silam, partai ini menyerukan agar Inggris Raya keluar dari Uni Eropa. Alasan UKIP mendorong Brexit karena anggapan Uni Eropa merongrong kehidupan ekonomi di Inggris. Tiap tahunnya, Inggris harus membayar jutaan poundsterling kepada Uni Eropa, namun dianggap tak memberi keuntungan berarti.
Selain itu, Inggris Raya juga ingin kembali mengontrol populasi pendatang di negaranya. Dengan adanya Uni Eropa, tiap warga negara anggotanya bebas keluar-masuk negara-negara lain yang terdaftar sebagai anggota Uni Eropa. Tak hanya berkunjung, setiap warga Uni Eropa bebas tinggal di negara manapun yang mereka mau selama negara lain tersebut masih satu keanggotaan di Uni Eropa.
Siapa Penentang Brexit?
Mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron menginginkan Inggris Raya bertahan di Uni Eropa. Ia menyatakan ketika memperpanjang keanggotaannya, Inggris akan menegoisasikan keanggotaan khusus pada Uni Eropa, salah satunya adalah memiliki otonomi khusus untuk mengatur perbatasan negaranya sendiri.
Penentang Brexit juga menyatakan dengan tetap bergabungnya Inggris, bisnis antar negara di Uni Eropa tidak akan terganggu. Selain itu, menyoal banyaknya imigran, mereka menganggap kedatangan mereka dianggap sebagai salah satu bahan bakar ekonomi. Para imigran yang rata-rata berumur muda disebut sebagai tenaga kerja yang membuat roda ekonomi di Inggris tetap berputar kencang.
Apa yang Selanjutnya Terjadi?
Hingga Inggris Raya secara resmi pisah dari Uni Eropa, undang-undang Uni Eropa masih akan berlaku di Inggris Raya. Aturan selanjutnya akan dinegosiasikan setelah Inggris benar-benar berpisah dari Uni Eropa. Aturan tersebut nantinya akan berdampak bagi para warga Inggris Raya yang bekerja di Uni Eropa, begitu pula sebaliknya. Ada kemungkinan warga Inggris yang akan bekerja di Uni Eropa harus memperbarui izin kerjanya bila kedua belah pihak tak menyepakati sistem satu pasar yang sudah dilakukan kala Inggris bergabung dengan Uni Eropa.
Secara bisnis, kini para pengusaha Inggris Raya akan mengalami kesulitan untuk memindahkan uang, barang, dan orang ke negara-negara Uni Eropa. Pelopor Brexit menyatakan ini sebagai sebuah kesempatan untuk Inggris kedudukan lebih tinggi dalam praktik bisnis multi-nasional. "Lebih baik kita berdiri sebagai satu negara, ketimbang menjadi bagian dari 28 negara di Uni Eropa dalam berbisnis," ujar salah satu pendukung Brexit, Lord Bamford.
Apakah Negara Lain Pernah Cerai dengan Uni Eropa?
Belum ada negara lain yang pernah 'memutuskan cerai' dari Uni Eropa. Namun Greenland, salah satu wilayah Denmark pernah menggelar referendum serupa pada 1982. Hasilnya, 52% penduduknya sepakat untuk meninggalkan Uni Eropa.
Dampak Brexit bagi Indonesia
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menuturkan, Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa atau Britain Exit/Brexit membuat para pelaku pasar memburu investasi aman antara lain yen dan emas. Hasil referendum Inggris juga mendorong pasar global alami volatilitas antara lain mata uang terutama persemakmuran Inggris mengalami penurunan terbesar.
David menilai, sentimen Brexit juga berdampak ke pasar keuangan Indonesia. Nilai tukar rupiah pun melemah ke level 13.400. Akan tetapi, David menilai penurunan rupiah tidak terlalu dalam dibandingkan negara lain seperti Afrika Selatan. "Ini lebih berdampak ke sektor keuangan," tegas David.