Ini Alasan Pegiat Internet Tolak Permen Situs Negatif

Kehadiran Permen Kominfo dianggap ilegal, dalam artian tidak memiliki legitimasi, prosedur, dan audit kinerja yang transparan.

oleh Iskandar diperbarui 11 Agu 2014, 12:33 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2014, 12:33 WIB
Pemilik Warnet Diminta Blokir Situs Porno
Ilustrasi (Dailymail)

Liputan6.com, Jakarta - Seperti yang diketahui, belum lama ini sejumlah aktivis dan pengiat internet, beramai-ramai menolak Peraturan Menteri (Permen) Kominfo no 14 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang telah disahkan bulan Juli 2014.

Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Semmy Pangerapan, memaparkan sejumlah alasan mengapa pihaknya beserta beberapa penggiat internet menolak Peraturan Menteri (Permen) Kominfo itu. 

"Permen ini sudah dijalankan Kominfo sejak tahun 2009, tapi kami menolaknya. Akan tetapi proses filtering tetap dilakukan, dan bahkan Internet Service Provider (ISP) yang tidak mengikuti kemauan pemerintah izinnya dicabut," kata Semmy di Kedai Tjikini, Jakarta.

Dengan adanya Permen itu ada kesalahan wewenang yang terjadi di ISP. Pasalnya, lanjut Semmy, ISP hanya menyediakan akses internet, bukan melakukan filtering.

"Kalau ISP yang dikasih mandat untuk melakukan filtering akan terjadi pelanggaran privasi karena mereka nantinya bisa melakukan filtering apa saja. Dan bila proses filtering ini tetap dilanjutkan, harus ada mesin filtering yang bisa diaudit," tambah Semmy.

Adapun beberapa pegiat internet yang menolak Permen aturan situs negatif adalah ICT Watch, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Pers, AJI Indonesia, dan SafeNet.

Mereka menganggap, kehadiran Permen Kominfo itu ilegal. Dalam artian tidak memiliki tiga hal, seperti legitimasi, prosedur, dan audit kinerja yang transparan.

Ditambahkan oleh Direktur ICT Watch Donny Budhi Utoyo, idealnya proses pemblokiran situs negatif harus melibatkan beberapa stakeholder, dalam hal ini pemerintah, masyarakat sipil, sektor bisnis, dan akademisi.

"Selain melibatkan beberapa stakeholder, juga harus berdasarkan keputusan dari pengadilan dan Trust+ Positif wajib menjadi badan yang independen atau pihak kedua," ujar Donny.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya