UU Penyiaran dan Telekomunikasi Harus Terintegrasi

Di era konvergensi saat ini, telekomunikasi dan penyiaran dinilai saling berhubungan dan menyatu.

oleh Andina Librianty diperbarui 28 Jul 2015, 17:12 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2015, 17:12 WIB
Ini Yang Harus Dilakukan Operator Jika Layanannya Terganggu
Kualitas layanan telekomunikasi operator seluler sedang banyak dikeluhkan oleh para pelanggannya.

Liputan6.com, Jakarta - Telekomunikasi dan penyiaran sebagai dua sektor strategis di era konvergensi saat ini, dinilai saling berhubungan dan menyatu. Karena itu, regulasi yang mengatur keduanya juga harus saling mendukung.

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MedIa), Amir Effendi Siregar, menghimbau regulator dalam hal ini pemerintah, untuk membuat regulasi telekomunikasi dan penyiaran saling terintegrasi. Ia melihat konvergensi kedua sektor tersebut akan menjadi tantangan regulasi ke depan, terlebih banyak perusahaan penyiaran di Indonesia, yang kini mulai mengelola bisnis telekomunikasi.

"Kita ingin memberikan masukan agar Undang-Undang (UU) penyiaran terintegrasi dengan telekomunikasi. Terutama UU telekomunikasi, harus diubah untuk kepentingan nasional," jelas Amir di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (28/7/2015).

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Amir Effendi Siregar (Liputan6.com/Andina Librianty)
Salah satu yang menjadi persoalan dalam kedua UU itu adalah tidak sinkronnya perihal kepemilikan modal asing. UU Telekomunikasi tidak mengatur kepemilikan modal secara eksplisit, sehingga ada operator-operator lokal yang dikuasai asing. Sedangkan dalam UU penyiaran, kata Amir, setidaknya telah ada batasan kepemilikan saham oleh pemodal asing sebesar 20 persen.

Dijelaskannya, UU Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999 yang dibuat di zaman deregulasi dan liberalisasi menyebabkan pemodal asing bisa menjadi pemegang saham mayoritas untuk mengendalikan perusahaan telekomunikasi. Hal ini berbanding terbalik dengan UU Penyiaran.

"UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 lahir di zaman reformasi sehingga lebih demokratis dalam pengaturan kepemilikan. Sejumlah pasal menunjukkan kedua UU memiliki perbedaan paradigmatik dalam mengatur kegiatan industrinya," tutur Amir.

Menurut hasil riset PR2Media, Pemerintah Indonesia sejak awal perkembangan telekomunikasi kurang memperhatikan keberlanjutan kebijakan yang dibuat. Salah satu contohnya, kata Amir, ketiadaan regulator independen telekomunikasi yang dinilai menyebabkan kerugian bagi warga negara seperti soal pengaturan bisnis yang tidak sehat dan tidak transparannya tarif.

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan lemahnya penegakan aturan penyiaran menyebabkan siaran nasional yang hanya berpusat di Ibu Kota dan lemahnya penyiaran lokal di daerah.

"Karena itu, harus ada UU Penyiaran baru yang nantinya harus sekaligus memikirkan UU Telekomunikasi. Keduanya bisa dibuat berbarengan, atau jeda waktu setahun agar bisa sinkron. Regulasinya tentu harus dibuat untuk kepentingan nasional," tutup Amir.

(din/dew)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya