'Network Sharing Cuma Menguntungkan Operator Asing'

Wacana berbagi jaringan aktif (network sharing) yang digulirkan pemerintah dinilai hanya menguntungkan operator asing di Indonesia.

oleh Iskandar diperbarui 30 Jun 2016, 19:50 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2016, 19:50 WIB
BTS
Ilustrasi BTS (ittelecomdigest.com)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana berbagi jaringan aktif (network sharing) yang digulirkan pemerintah dinilai hanya menguntungkan operator asing di Indonesia. 

“Populisnya network sharing memang menguntungkan pelanggan, tapi yang paling diuntungkan adalah operator asing. Tidak ada keharusan Telkomsel menerima konsep network sharing dengan sesama operator seluler, selama Telkomsel hanya diposisikan selaku 'donatur network',” tegas salah satu perintis bisnis seluler di Indonesia, Garuda Sugardo di Jakarta, Kamis (30/6/2016).

Seperti diketahui, di industri seluler terdapat beberapa pemain seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Tri Indonesia, dan Smartfren.

Di antara deretan pemain tersebut, Telkomsel diketahuii paling sedikit investor asingnya di mana sekitar 35 persen sahamnya dikuasai SingTel, sedangkan sisanya dikuasai Telkom yang sahamnya dominan dimiliki pemerintah Indonesia.

Sejak 2001, ujar Garuda, Indosat telah menerima segala macam lisensi seperti yang dimiliki Telkom sehingga layak disebut Full Network Service Provider dengan segala hak dan kewajibannya.

Sebagai pemilik lisensi, operator tentu sadar konsekuensinya adalah membangun infrastruktur jaringan, tidak hanya di daerah yang gemuk, tetapi di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Saya mengerti dan setuju konsep network sharing 100 persen, itu pasti! Tetapi dalam arti saling berbagi, bukan yang satu berbagi tapi yang lain minta bagian," imbuh Garuda. 

Menurutnya, itu tidak adil dan tendensi  berpihak. Apalagi kepada operator yang sudah 'menggadaikan' jaringan kepada vendor secara managed service.

"Mereka adalah operator 'pemalas', segan membangun, enggan pula memelihara jaringan. Padahal, lisensi mereka adalah sebagai operator jaringan dan operator layanan,” ketusnya.

Ia berharap, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak menandatangani revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000)  dan PP 53 tahun 2000 tentang  frekuensi dan orbit satelit yang mengakomodasi model bisnis network sharing.

“Ini kalau dijalankan akan blunder di masa depan. Pemerintah tidak perlu melindungi kelalaian para operator mana pun.  Biarkan mereka sadar kewajibannya. Mereka yang bermental free rider harus 'dikepret' agar sadar bahwa regulasi  Indonesia eksis dan berdaulat,” tutupnya. 

Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi menambahkan, network sharing di seluruh dunia merupakan jenis kebijakan insentif dari pemerintah untuk memperluas akses telekomunikasi masyarakat yang daerahnya belum terjamah operator mana pun, bukan untuk membantu pemain yang tidak mau membangun agar dapat mengefisiensikan biaya belanja modal dan operasionalnya.

“Kalau dilihat dari pemberitaan di media massa, network sharing yang digulirkan seperti ingin membantu pesaing Telkom Group untuk tidak perlu melakukan subsidi investasi memasuki pasar luar Jawa, seperti yang dialami operator pelat merah itu,” katanya.

Diungkapkan Ridwan, Telkomsel dalam menggelar jaringan di luar Jawa biasanya mengalami pain period karena trafik tak langsung datang.

“Kalau dilihat di laporan keuangannya, itu ada 16.000 BTS harus disubsidi setiap bulannya oleh Telkomsel, demi melayani masyarakat. Jadi, saya bingung kalau ada operator yang enggan membangun didukung pemerintah, sementara ada yang sudah bersusah payah, malah mau dibebani lagi," pungkasnya.

(Isk/Cas) 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya