Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki memanggil Shopee terkait tagar #ShopeeBunuhUMKM yang sempat ramai dan menjadi trending topic di Twitter.
Usut punya usut, tagar itu bermula dari percakapan sejumlah pengguna Twitter yang membahas tentang seller atau penjual di Shopee yang bernama Mr Hu.
Baca Juga
Beberapa foto detail pengiriman barang dari Tiongkok di Shopee yang dibagikan oleh warganet menunjukkan bahwa nama Mr. Hu selalu tercantum sebagai pengirim.
Advertisement
Yang jadi masalah besarnya adalah dia kerap memasang harga yang terlampau murah sehingga diyakini bisa 'membunuh' usaha mikro kecil menengah (UMKM) Indonesia.
Terkait hal ini Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai lancarnya arus barang impor dari Tiongkok lewat Shopee karena regulasi impor yang terlalu lama. Ia berharap agar porsi impor barang di e-commerce diatur oleh pemerintah.
"Misalnya keluarkan regulasi maksimal 30 persen barang impor by country origin di e-Commerce. Sayangnya tidak pernah ada regulasi yang tegas," kata Bhima melalui keterangannya, Jumat (19/2/2021).
Di satu sisi pemerintah ingin mendorong UMKM masuk platform digital. Sementara di sisi lain persaingan dengan barang impor dibebaskan. Kondisi ini tentu akan membuat UMKM lokal tersudut.
"Cepat atau lambat barang impor yang sudah dominan di platform e-commerce makin diberi ruang. Kalau dulu orang impor prosesnya susah sekarang tinggal duduk manis. Barang dari Tiongkok door to door sampai di depan pintu konsumen Indonesia," ucap Bhima memungkaskan.
Â
Ketidakseimbangan Persaingan
Sementara peneliti INDEF, Nailul Huda, menilai pasar domestik Indonesia sangat menarik bagi tiap pelaku e-commerce. Dengan pertumbuhan kelas menengah, generasi gadget yang sangat pesat dan haus akan diskon, ditangkap baik oleh produsen Tiongkok untuk menjual produknya langsung ke konsumen di Indonesia.
"Apalagi sekarang pengirimannya lebih murah dan ada diskon ongkir dari platform. Harga produk dan ongkir yang murah merupakan kombinasi pas untuk konsumen Indonesia," jelasnya.
Efek negatifnya, ada ketidakseimbangan persaingan antara produsen di Tiongkok yang sudah besar dan efisien dengan pelaku UMKM yang rata-rata tidak sebesar dan seefisien produsen asal negeri Tirai Bambu itu.
Praktik ini lama kelamaan akan semakin menggerus pangsa pasar UMKM lokal yang saat ini pun sangat rendah. UMKM tidak dapat lagi bersaing, akibatnya banyak dari mereka yang tidak menjual produk ke e-commerce.
"Di saat sudah tidak ada lagi pesaing lokal, harganya lama kelamaan bisa naik dan membebankan ke konsumen. Praktik ini bisa dibilang tidak sehat," pungkasnya.
Advertisement
Tindakan Platform Lokal
Di sisi lain, Huda mengatakan platform lokal juga tidak membatasi begitu saja barang impor, sebab mereka harus mengejar konsumen agar bisa memperoleh pendanaan.
"Mereka mau tidak mau juga harus melihat keinginan konsumen. Berat bagi platform jika harus memberikan restriksi khusus barang impor," tuturnya melanjutkan.
Untuk itu, Huda menuturkan hal yang bisa dilakukan platform lokal adalah memberikan ruang khusus bagi produk UMKM lokal, tanpa menghambat produk impor.
"Memberikan space khusus bisa dengan cara memberikan iklan produk UMKM ataupun space di halaman awal di situs/apps platform e-commerce," imbuh Huda.
Lantas, kapan pelaku UMKM Indonesia bisa menjadi juara di dalam negeri? Menjawab pertanyaan tersebut, Huda menuturkan hal itu bisa dilakukan jika pelaku UMKM bisa melakukan efisiensi.
Namun hal itu juga bisa terjadi jika ada perubahan karakteristik konsumen yang sangat signifikan, seperti dari price oriented menjadi unique oriented.
"Sebenarnya sudah terjadi di beberapa kalangan komunitas dimulai dengan fashion. Beberapa komunitas kan sekarang nampaknya bangga mengenakan fashion buatan tangan lokal. Namun jumlahnya tidak seberapa juga," tuturnya menjelaskan.
Regulasi di Indonesia
Sementara dari sisi regulasi, Huda juga menilai peta jalan e-commerce tidak berjalan optimal. Dia mengatakan penyebab utamanya adalah tidak adanya kekuatan pemerintah dalam mengumpulkan data transaksi e-commerce berdasarkan karakteristik tertentu.
"Kalau tidak ada data, bagaimana kita bisa menentukan strategi yang optimal. Selain itu, regulasi untuk peningkatan UMKM juga sangat terbatas dan kadang tidak sinkron dengan karakteristik konsumen," ujarnya mengakhiri pembicaraan.
(Dam/Isk)
Advertisement