Anggaran Seret, Target Produksi Pangan Menyusut

Pemerintah telah merevisi target produksi pangan karena terhadang beberapa kendala seperti anggaran dan pengadaan lahan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Apr 2014, 14:44 WIB
Diterbitkan 29 Apr 2014, 14:44 WIB
Sawah (Ilustrasi)
Sawah (Antara Foto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah merevisi target produksi pangan karena terhadang beberapa kendala seperti anggaran dan pengadaan lahan. Padahal dalam rencana aksi pangan Bukittinggi (RAPB), pemerintah telah mematok target produksi pangan cukup tinggi.

"Dari RAPB sudah direvisi, misalnya produksi beras dari 76 juta ton cuma mampu 73 juta ton. Produksi jagung sama, kedelai awalnya 1,5 juta ton menjadi 1,2 juta ton," ungkap Menteri Pertanian Suswono di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (29/4/2014).

Revisi target lebih rendah ini, menurut Suswono karena tak ada anggaran tambahan yang bisa digunakan untuk memacu produktivitas petani maupun tanaman pangan. "Kalaupun ada (anggaran), momennya sudah hilang. Artinya kita gunakan anggaran dari APBN yang ada," ucapnya.

Selain itu, dia mengaku, pihaknya tak memperoleh penambahan lahan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang seharusnya disediakan 155 ribu hektare (ha). "Jadi realisasinya nggak sesuai dengan yang dicanangkan di awal. Lebih kepada persoalan anggaran serta realisasi kementerian/lembaga," keluh Suswono.

Revisi target, katanya, juga merujuk dari laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika (BMKG) yang meramalkan seluruh wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau pada Mei hingga September ini. Kondisi tersebut mesti diantisipasi supaya ketersediaan bahan pangan cukup di musim tersebut.

"Musim kemarau alias elnino bakal terjadi di Mei-September ini. Tapi kalaupun ada Elnino, kategorinya rendah atau mendekati iklim normal," sambungnya.

BMKG telah melaporkan analisis awal mengenai musim kemarau di Tanah Air. Dari data tersebut, pada periode April-Agustus ini, Indonesia masuk dalam kondisi normal namun elnino dapat terjadi di periode September dengan kategori lemah.

"Tapi di awal tahun ini sampai April, sebagian besar wilayah Indonesia belum masuk musim kemarau. Yang sudah masuk kemarau di wilayah Sumatera terjadi sejak Januari-Februari, sedangkan di Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat sudah mengalami kemarau sejak Maret ini," ujarnya.

Suswono mengkhawatirkan musim kemarau akan menyusutkan debit air di irigasi persawahan sehingga petani kesulitan memperoleh pasokan air dan mengganggu tanaman.

"Pemerintah telah menyiapkan anggaran Rp 2 triliun untuk mengantisipasi iklim ekstrem. Dana ini dapat sewaktu-waktu digunakan, salah satunya untuk mengoptimalkan air tanah atau air sungai dengan pompanisasi," jelas dia.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya