Konflik Tambang dan Korban-korbannya

Industri pertambangan telah menjadi monster yang menghancurkan keberlanjutan hidup warga di sekitar kawasan tambang.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 28 Mei 2014, 14:53 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2014, 14:53 WIB
Batu Bara
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Industri pertambangan telah menjadi monster sumber kehancuran bagi keberlanjutan hidup warga di sekitar kawasan tambang. Industri yang ditempatkan sebagai ujung tombak pembangunan dan devisa Negara, justru merupakan ancaman keselamatan dan daya pulih produktifitas warga, serta keberlanjutan fungsi-fungsi alam.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat jumlah konflik yang terjadi pada 2013 meningkat tajam dari pada tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang 2013, terjadi 369 kasus dengan luasan wilayah konflik mencapai 1.281.660,09 hektar yang melibatkan 139.874 kepala keluarga (KK). Jauh meningkat tajam pada tahun sebelumnya, di 2012 jumlah konflik terjadi sebanyak 198 kasus atau naik 86,36%.

"Dalam kurun 6 tahun terakhir, tercatat 13 orang meninggal, 125 orang luka-luka dan 234 orang ditahan karena konflik pertambangan," ungkap juru bicara Walhi, Tumpak Winmark Hutabarat di Jakarta, Rabu (28/5/2014).

Tanggungan masalah pun masih banyak yang tak terselesaikan. Masalah yang terjadi tak hanya dilakukan oleh investor luar negeri, namun juga oleh pengusaha lokal nasional. Seperti kasus semburan lumpur Lapindo, kasus tambang di Mandailing Natal, kasus penembakan di Tiaka Sulawesi Tengah atau pencemaran Teluk Buyat.

"Beberapa di antaranya bahkan menguap begitu saja," ungkap dia.

Sampai saat ini, lanjut Tumpak, masyarakat korban Lapindo masih terus memperjuangkan hak azasi mereka. Semburan lumpur Lapindo telah merendam sawah-sawah, serta saluran irigasi, berdampak pada hilangnya akses pangan dan hak ekonomi masyarakat.

"Ini berakibat pada semakin bertambahnya beban perempuan. Karena perempuan, dengan peran gendernya 'dipaksa' untuk memikirkan urusan domestik dalam keluarga," tuturnya.

Tak hanya itu, perempuan juga memiliki kerentanan lebih besar dibanding laki-laki saat tambang masuk ke suatu wilayah. Pencemaran lingkungan, membuat perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan, baik ISPA, penyakit kulit, maupun kesehatan reproduksi. Pertambangan juga memicu munculnya prostitusi di wilayah lingkar tambang.

"Dampak buruk yang dialami perempuan merupakan bentuk tidak adanya perlindungan terhadap hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam," terangnya.

Sayangnya, lanjut dia, kompleksitas masalah yang telah muncul di permukaan, tidak menjadi pertimbangan bagi pemerintah khususnya pasangan calon presiden (Capres) dan wakil pada pemilihan presiden 2014 ini.

"Kedua pasangan Jokowi–Jusuf Kalla dan Prabowo–Hatta, tetap menjadikan industri pertambangan sebagai bagian penopang pembangunan ekonomi Indonesia ke depan,"

Padahal sejarah panjang tambang di Indonesia, justru membuat negeri ini semakin tidak berdaulat atas ekonomi, hukum dan politik. Hanya satu cara mengembalikan kedaulatan bangsa yaitu menghentikan  seluruh operasi dan rencana pertambangan. Sudah cukup catatan buruk bangsa ini akibat pertambangan.

"Cukup tambang sebagai sejarah dalam perjalanan bangsa ini ke depan. Momentum semburan lumpur Lapindo yang terjadi 29 Mei, delapan tahun yang lalu harusnya menjadi catatan buruk industri tambang di Indonesia," papar Tumpak.  (Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya