Dilema FCTC Bagi Pemerintah dan Produsen Rokok

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menegaskan tidak meratifikasi FCTC mengingat industri kretek ini cukup besar menghasilkan cukai

oleh Septian Deny diperbarui 01 Des 2014, 18:45 WIB
Diterbitkan 01 Des 2014, 18:45 WIB
Ilustrasi Pajak Rokok 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta  tidak menandatangani ratifikasi traktat pengendalian tembakau internasional atau biasa disebut dengan framework convention on tobacco control (FCTC). Lantaran, traktat ini dinilai hanya akan merugikan produsen tembakau dan rokok dalam negeri.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto mengatakan, hingga saat ini posisi pemerintah masih pada sikap yang sama, yaitu tidak menandatangani FCTC. Alasannya, FCTC hanya akan mengancam keberlangsungan industri rokok di Indonesia.

"Industri kretek Indonesia peranannya sangat besar sebagai penghasil cukai lebih dari Rp 100 triliun dan menyerap banyak tenaga kerja," ujarnya di Kantor Kemenperin, Jakarta Selatan, Senin (1/12/2014).

Menurut Panggah, jika yang dikhawatirkan selama ini yaitu soal isu kesehatan, sebenarnya pemerintah juga telah mengatur masalah konsumsi tembakau melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012. Sehingga pihak asing tidak perlu mengatur terkait hal tersebut.

"Tekan-tekanan masih kuat. Makanya kita tetap tidak ingin meratifikasi FCTC. Kita tetap konsisten," kata dia.

FCTC merupakan traktat internasional yang dibahas dalam forum Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) pada 21 Mei 2003 dan mulai berlaku sejak 27 Februari 2005.

Saat ini, Indonesia termasuk salah satu negara yang belum menandatangani traktat ini. Negara lain yang juga belum mengaksesi FCTC antara lain Andorra, Eritrea, Leichtenstein, Monaco, Malawi, Somalia dan Zimbabwe. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya