Nelayan Tradisional Butuh Perlindungan Pemerintah

Rancangan Undang-undang Perlindungan Nelayan diharapkan fokus terhadap perlindungan dan pemulihan hak nelayan tradisional.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Mar 2015, 19:50 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2015, 19:50 WIB
Ratusan Nelayan Demo Pihak Leasing
Ratusan nelayan Cipatujah, Tasikmalaya berunjuk rasa ke kantor salah satu jasa keuangan, mereka mendesak agar perusahaan ini mengembalikan mobil yang disita.

Liputan6.com, Jakarta - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai fluktuasi Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang masih tinggi. Untuk itu, penyusunan RUU Perlindungan Nelayan diharapkan dapat fokus meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya skala kecil.

"Dua regulasi pemberantasan illegal fishing yaitu moratorium izin kapal eks asing dan larangan transshipment belum menunjukkan benang merahnya terhadap kesejahteraan nelayan. Meski nilai NTN di Februari 2015 sebesar 106.72, meningkat dibanding 3 bulan pertama Pemerintahan Jokowi, namun angka ini terbilang rentan dibanding tren NTN 5 tahun terakhir," ungkap Niko Amrullah Wakil Sekjen KNTI, seperti dikutip dari keterangan yang diterbitkan, Minggu (22/3/2015).

Niko menambahkan, jika dilihat di setiap provinsi, maka Maluku mempunyai NTN tertinggi dibandingkan yang lainnya, sedangkan Bali paling rendah.  Dari 34 provinsi di Indonesia, Bali adalah provinsi yang mempunyai angka NTN kritis di bawah standar statistik.

Perlindungan nelayan

Karena itu, KNTI meminta DPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus segera mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, dengan fokus perlindungan dan pemulihan terhadap hak-hak nelayan  tradisional.

Sebanyak 92 persen dari total pelaku perikanan di Indonesia tergolong skala kecil dan 25 persen total angka kemiskinan berasal dari kampung pesisir dan nelayan.

"Sekurang-kurangnya ada 7 komponen utama yang harus masuk dalam RUU Perlindungan Nelayan," tegas Niko.

Pertama, reforma agraria di perairan. Negara harus mengakui peran nelayan skala kecil dan masyarakat adat untuk memulihkan, melestarikan, melindungi dan bersama sama mengelola lingkungan perairan lokal dan ekosistem pesisir.

Kedua, terkait prinsip pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.  Negara harus memfasilitasi, melatih dan mendukung masyarakat nelayan tradisional untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.

Ketiga, meliputi pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak. Pada aspek ini, Negara harus memperhatikan tentang: kesehatan, pendidikan, pemberantasan buta huruf, inklusi digital, perlindungan jaminan sosial, akses ke layanan perbankan dan skema asuransi.

Selain itu, menghapuskan kerja paksa, mencegah perbudakan perempuan, pria dan anak-anak serta perbaikan aspek keselamatan melaut  yang mencakup kesehatan dan keselamatan kerja.

Keempat, adalah terkait mata rantai perdagangan. Negara harus menyediakan akses ke pasar-pasar lokal, regional, nasional, dan internasional serta mendorong perdagangan yang adil dan non-diskriminatif bagi produk perikanan skala kecil.

Kelima, risiko bencana dan perubahan iklim. Negara harus membantu dan mendukung masyarakat nelayan skala kecil yang terkena dampak oleh perubahan iklim atau bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia.

Keenam, adalah pengembangan kapasitas. Negara dan pihak-pihak lainnya harus meningkatkan kemampuan masyarakat nelayan skala kecil untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Ketujuh, kesetaraan gender. Kebijakan yang dibuat haruslah tidak mendiskriminasikan perempuan nelayan. Mereka yang menggarap pengolahan hasil perikanan, yang lebih mempunyai nilai tambah ekonomi.

"Ketujuh komponen utama tersebut menjadi katalis perlindungan dan pemulih hak-hak nelayan tradisional", kata Niko. (Fik/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya