Kadin Minta Pemerintah Tuntaskan PR di Sektor Maritim

Pemerintah didesak untuk segera menuntaskan permasalahan moratorium ijin kapal ikan produksi luar negeri.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 27 Jul 2015, 22:41 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2015, 22:41 WIB
Nelayan
Nelayan

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan berbagai pekerjaan rumah (PR) yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan. Kelesuan perekonomian global yang kini melanda Indonesia, berdampak keras bagi sektor kelautan dan perikanan nasional.

“Kami meminta pemerintah untuk segera menuntaskan PR yang hingga kini belum kelar,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (27/7/2015).

Ia menuturkan, dengan kondisi ekonomi dunia yang tengah mengalami kelesuan ditambah lagi dengan beberapa peraturan pemerintah yang dinilai kontraproduktif, berdampak pada pengusaha yang mengalami kesulitan untuk mempertahankan lini bisnisnya. Akibatnya, sebagian pengusaha terpaksa melakukan pengurangan tenaga kerja karena mengalami kerugian yang cukup besar.

Bahkan, kata dia, berdasarkan informasi dari anggota Kadin Kelautan dan Perikanan, ada pengusaha yang telah mengalami kerugian hingga mencapai Rp 175 miliar, sehingga telah merumahkan sebanyak 500 karyawannya.

“Kerugian itu dihitung sejak pemberlakuan beberapa peraturan pemerintah dan sebagai akibat dari kontraksi perekonomian global saat ini. Sebenarnya desakan ini sudah disuarakan rekan-rekan kami," katanya.

Yugi menyebutkan beberapa pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dituntaskan untuk mendukung perekonomian masyarakat di sektor kelautan dan perikanan.

Pertama, pemerintah didesak untuk segera menuntaskan permasalahan moratorium ijin kapal ikan produksi luar negeri. Pasalnya, jika kebijakan itu akan diimplementasikan di Indonesia, maka pemerintah harus mengembangkan industri galangan kapal dalam negeri yang memadai dan bermutu sesuai standar internasional. Sehingga kapal-kapal ikan yang dipergunakan merupakan produksi dalam negeri berdaya saing tinggi.

“Sinergi antar instansi pemerintah mutlak dilakukan. Misalnya, antara Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta instansi pemerintah lainnya. Bila perlu, presiden bisa menerbitkan payung hukum yang mengatur sinergi itu. Apalagi tahun 2016, pemerintah berencana membangun 5.000 kapal ikan produksi dalam negeri, jadi semuanya harus direncanakan secara matang,” ungkap Yugi.

Kedua, katanya, untuk membangun galangan kapal domestik yang memadai dan berkualitas harus didukung oleh pemberian insentif fiskal dan nonfiskal bagi usaha galangan kapal nasional. Diantaranya, insentif PPN dan tarif khusus bea masuk komponen dan permesinan.

Menurut dia, berbagai kebijakan dan aturan khusus serta pembiayaan dari instansi terkait yang memberikan kemudahan bagi usaha pembuatan kapal ikan ukuran 5GT dan 10GT yang berjumlah 3.500 unit atau dua pertiga dari rencana pengadaan 5.000 kapal ikan yang sudah sangat mendesak ketersediaannya, agar produksi ikan lebih meningkat lagi, kesejahteraan nelayan pun meningkat dan kebutuhan konsumen serta industri pengolahan ikan (UPI) akan terjamin kecukupannya.

“Hal ini termasuk persoalan serius yang hingga kini belum mampu diwujudkan pemerintah,” katanya lagi.

Ketiga, pemerintah juga didesak untuk segera mengumumkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan tim Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing terhadap perusahaan-perikanan yang menggunakan kapal buatan luar negeri. Pasalnya, analisa dan evaluasi sudah berlangsung sejak November 2014.

“Sudah berlangsung 8 bulan, namun hingga kini belum ada pengumuman. Kalangan dunia usaha ingin mengetahui perusahaan mana saja yang layak dan tidak layak sesuai analisa dan evaluasi tersebut. Harus segera agar ada kepastian berusaha di Indonesia ini,” papar Yugi.

Keempat, pemerintah diminta untuk segera mengantisipasi dan mencari solusi kekurangan bahan baku yang dialami sejumlah industri pengolahan ikan. Misalnya dengan memilah ikan hasil tangkapan yang tersimpan dalam cold storage atau refrigerator kapal ikan Indonesia produksi luar negeri. Sehingga masalah kekurangan bahan baku dalam jangka pendek ini bisa diminimalisasi.

Data Bank Indonesia mencatat, Kapasitas Produksi Terpakai sektor perikanan periode triwulan II-2015 sebesar 67,93 persen atau turun 9,89 persen dibanding periode yang sama tahun 2014. Jika dibandingkan capaian kapasitas terpakai selama semester I-2015 dengan semester I-2014, terjadi penurunan 9,27 persen dari posisi 74,10 persen (tahun 2014) menjadi 64,84 persen (2015).

Kelima, pemerintah diminta untuk melakukan penataan sistem logistik perikanan nasional yang terpadu, sekaligus meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil perikanan Indonesia. Pasalnya, implementasi sistem logistik perikanan nasional yang rencananya dilaksanakan mulai 2014, hingga kini belum berjalan. Akibatnya, distribusi ikan dari sentra produksi di luar Jawa ke pabrik pengolahan di Jawa masih belum memadai.

Keenam, pemerintah diminta rutin melakukan pengawasan terhadap kinerja unit pengolahan ikan (UPI) sebagai langkah mencegah terjadinya praktik kecurangan. Termasuk melakukan audit berkala untuk memetakan jumlah kebutuhan riil bahan baku industri pengolahan dan jenis-jenis ikan yang dibutuhkan UPI. (Ndw/Gdn)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya