Liputan6.com, Jakarta - Dalam waktu dekat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menentukan, apakah lapangan gas Blok Masela akan menggunakan fasilita spengolahan di darat atau terapung laut. Menteri Kooridnator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yakin, pemanfaatan lapangan gas Blok Masela akan memperhatikan kepentingan daerah sekitar ladang gas khususnya, dan kawasan Indonesia Timur umumnya.
Terkait masalah ini, Presiden memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber pemasukan dalam bentuk devisa. Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama di daerah sekitar lokasi ladang gas.
“Saya yakin pemanfaatan ladang gas abadi Masela akan memperhatikan dampaknya pada pembangunan ekonomi kawasan Indonesia Timur, khususnya Maluku dan sekitarnya. Ia juga harus mampu memberi multiplier effect seluas-luasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia dan lainnya,” kata Rizal.
Perbincangan seputar Blok Masela memang nyaris tidak bisa lepas dari hitung-hitungan biaya teknis pembangunan kilangnya. Terlebih lagi ada usaha-usaha beberapa pihak yang menggiring opini, seolah-olah biaya kilang floating lebih murah daripada kilang darat.
Baca Juga
Pihak-pihak itu, dengan segala sumber daya yang dimiliki, menyatakan bahwa biaya pembangunan kilang apung hanya US$14,8 miliar. Sementara itu, biaya untuk pembangunan kilang darat mencapai US$ 19,3 miliar.
Namun, apakah angka-angka ini valid? Menurut Rizal, satu hal yang harus disadari, bahwa pada akhirnya semua biaya tersebut akan dibayar negara melalui mekanisme cost recovery.
"Pada titik ini menjadi jelas, bahwa sejatinya semuanya tergantung pada negara, apakah ingin membangun kilang darat atau kilang apung. Berbeda halnya bila seluruh biaya murni menjadi tanggungjawab kontraktor, maka perdebatan soal pilihan pembangunan kilang darat atau apung masih terbuka lebar," tambahnya.
Ia melanjutkan bahwa selama ini ada manipulasi atau pelintiran data, sehingga seolah-olah biaya kilang apung lebih murah dibandingkan biaya kilang darat. "Manipulasi itu bersumber dari data-data yang dipasok Shell yang merupakan calon operator sekaligus vendor pembangunan kilang, jika jadi di laut,” ujar Rizal Ramli.
Menurut Rizal, pemerintah sebagai pemegang amanah kekuasaan yang diberikan rakyat, tentu juga memperhatikan aspirasi rakyatnya. Pada konteks Masela, masyarakat dan tokoh-tokoh Maluku menghendaki pembangunan kilang dilakukan di darat. Pertimbangannya, mereka juga menginginkan manfaat sosial dan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Sebelum merdeka, Maluku memiliki SDM yang bagus dengan tingkat kesehatan dan pendidikan yang maju. Namun ironis, setelah 70 tahun justru Maluku menjadi provinsi termiskin keempat. Ini sungguh ironis, karena Maluku memiliki 25 blok migas dan kemungkinan akan terus bermunculan.
Untuk itu, pengelolaan migas harus diubah sehingga rakyat mendapatkan manfaat, industri bertumbuh, dan kesejahteraan membaik. Dengan adanya unit pengolahan gas di Pulau Selaru (sekitar 90 km dari Masela), tentu terbuka lapangan kerja bagi penduduk lokal.
Kondisi ini dapat meningkatkan pengembangan wilayah sekitarnya menjadi kawasan downstream industry. Industri pupuk, petrokimia, gas untuk bahan bakar dan produk substitusi lainnya adalah beberapa di antaranya yang bakal lahir.
Dampak ikutan lainnya, Selaru dan pulau-pulau sekitarnya akan hidup dan ramai oleh kapal-kapal dan penerbangan dari berbagai wilayah yang akan ramai pulang-pergi ke sana. Tak pelak lagi, dibutuhkan lapangan terbang baru. Pada gilirannya Selaru benar-benar menjadi kota sibuk yang memberikan manfaat ekonomi bagi penduduknya.
“Maka akan lahir kota Balikpapan atau Bontang baru. Kondisi ini akan menciptakan lapangan kerja yang sangat berarti bagi rakyat di kawasan itu. Ini adalah salah satu contoh dari multiplier effect yang bisa langsung dirasakan. Bahkan bukan mustahil, dalam 10 tahun Selaru bakal menyalip Bontang dan Balikpapan,” kata Rizal.
Di atas semua itu, dengan pembangunan kilang darat dan pipanisasi, berarti negara benar-benar berusaha memakmurkan rakyat Indonesia, khususnya yang ada di kawasan Indonesia Timur. Alur seperti ini sekaligus klop dengan konsep Tol Laut-nya Presiden Jokowi.
Semua benefit tersebut mustahil terwujud bila yang dipilih adalah pembangunan fasilitas LNG terapung. Seperti disebutkan di depan, teknologi kilang apung ini dikuasi atau dimiliki Shell. Kandungan lokalnya tidak banyak, paling banter hanya 10 persen. Angka ini sudah meliputi bahan baku, teknologi, juga sumber daya manusia (SDM). Lagi pula, LNG terapung yang diinginkan Kementerian ESDM dan SKK Migas belum teruji. Teknologi ini baru akan beroperasi untuk pertama kali di blok Prelude, Australia, nanti, pada 2017. (Fik/Gdn)
Advertisement