Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang mengejar penyelesaian revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang rencananya akan masuk dalam paket kebijakan ekonomi. Salah satunya bidang usaha yang perlu dievaluasi di sektor keuangan dalam kaitannya dengan porsi kepemilikan asing.
Pelaksana Tugas (Plt) Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan, pemerintah sedang melanjutkan pembahasan rapat DNI sebelumnya guna memperbaiki dan melonggarkan porsi asing dan domestik supaya minat investasi kian meningkat.
Dalam rapat DNI kali ini, pemerintah mengundang Bank Indonesia (BI) yang diwakili Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara dan pihak dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Kamis (28/1/2016).
"Kita akan review kepemilikan asing di sektor keuangan karena sekarang ini sektor keuangan kita sudah sangat mengundang untuk asing. Ada BI terkait pengawasan dan izin sistem pembayaran, perdagangan valas, sedangkan OJK pengawasan sektor keuangan perbankan," ucapnya.
Menurut Suahasil, sektor keuangan perbankan dan non keuangan asuransi di Indonesia sudah sangat terbuka untuk kepemilikan asing. "Kami undang asing untuk investasi di perbankan. Nanti diumumkan oleh Pak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian jadi satu paket (kebijakan)," terangnya.
Baca Juga
Sementara Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara enggan berkomentar mengenai hasil rapat DNI. Ia justru mengataka hal berbeda, bahwa ada pelonggaran moneter seiring perkembangan ekonomi Indonesia.
"Kalau situasi (ekonomi) tetap stabil, inflasi bagus, kan BI sudah bilang ada ruang pelonggaran. Nanti kita lihat datanya," terangnya.
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berencana mengubah istilah Daftar Negatif Investasi (DNI) menjadi Panduan Investasi. Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan, perubahan istilah tersebut untuk memberikan kepastian kepada investor asing, sektor yang dapat dimasuki maupun yang tertutup.
Menurutnya, istilah DNI yang digunakan untuk menyebut regulasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan dinilai membingungkan.
Hal ini karena istilah DNI membuat kesan bahwa sektor-sektor yang dicantumkan di daftar tersebut adalah sektor-sektor yang tertutup untuk investor asing.
Padahal, lanjut Franky, dalam Perpres 39 Tahun 2014 tersebut, terdapat 67 bidang usaha yang memperbolehkan asing memiliki saham mayoritas atau di atas 50 persen. "Yang benar-benar tertutup yang dicantumkan di Perpres tersebut hanya 12 bidang usaha,” ujarnya.
Menurut Franky, penggantian istilah tersebut dinilai penting untuk membantu menciptakan persepsi positif mengenai iklim investasi di Indonesia. Dia melanjutkan hal ini sejalan dengan semangat revisi regulasi untuk memberikan kesempatan lebih besar ke investor, tapi tidak dengan meninggalkan potensi dan kemampuan yang ada di dalam negeri.
“Istilah Panduan Investasi lebih netral, sehingga menunjukkan bahwa sebelum investor ingin menanamkan modalnya mereka bisa mengacu pada panduan sektor tersebut,” jelasnya. (Fik/Gdn)