Skandal Panama Papers Tak Boleh Disebut dalam Pertemuan G20

Negara anggota G20 Fokus memerangi kejahatan perpajakan tersebut didorong bocornya 11,5 juta dokumen yang dikenal sebagai Panama Papers.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Apr 2016, 21:16 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2016, 21:16 WIB
DPR: Pemerintah Harus Berupaya Lebih Keras Serap Pajak
Persoalan perpajakan memang menjadi isu krusial, apalagi ada skandal perpajakan dalam dokumen yang disebut "Panama Papers".

Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara anggota G20 dalam pertemuan yang berlangsung baru-baru ini sepakat memerangi kejahatan perpajakan. Pertemuan yang dimaksud merupakan rangkaian IMF-World Bank Spring Meetings yang berlangsung di Amerika Serikat (AS).

Fokus memerangi kejahatan perpajakan tersebut didorong bocornya 11,5 juta dokumen yang dikenal sebagai Panama Papers.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, isu penting yang mencuat di pertemuan 20 negara dengan PDB terbesar di dunia (G20) adalah masalah perpajakan.

Pembahasan muncul seiring terkuaknya skandal pajak Panama Papers yang menggemparkan seluruh negara karena telah menyeret tokoh-tokoh elit dunia.


Menariknya meski merujuk pada dokumen itu, menyebut Panama Papers sangat dilarang pada pertemuan G20. Alasannya, Suahasil menjelaskan, karena menunjuk pada satu negara tertentu karena dianggap tidak etis di mata dunia.

"Negara G20 sepakat memerangi kejahatan pajak antar negara. Isu ini didorong kebocoran data yang ramai belakangan ini. Kita respect atau menghormati untuk tidak menyebut atau menunjuk negara tertentu," jelas dia saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Jumat (22/4/2016).

Kebocoran data firma hukum Mossack Fonseca, dikatakan dia, semakin membuka mata dunia bahwa transaksi keuangan internasional sangat mungkin digunakan untuk menghindari pajak dan menyembunyikan identitas.

Kasus penggelapan pajak, lanjut Suahasil, sudah diprediksi seluruh negara di dunia. Sehingga negara-negara yang tergabung dalam OECD menerapkan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) serta negara-negara G20 yang berkomitmen membuka data dan informasi pajak (Automatic Exchange of Inforation/AEoI) di akhir 2017.

"Sekjen OECD bilang masih ada dua negara yang secara eksplisit belum menyetujui membuka data pajak, yakni Bahrain dan Panama. Tapi Presiden G20 sudah menerima surat resmi dari Panama yang mengatakan mereka akan ikut komit membuka akses data pajak," terang Suahasil.

Diakuinya, negara-negara G20 menyetujui adanya sanksi bagi negara yang menolak atau kurang komitmen terhadap pertukaran data dan informasi perpajakan maupun perbankan. Hanya saja, masih harus didiskusikan kembali, siapa yang akan memberi dan menjalankan sanksi itu, dan apa bentuk sanksi tersebut.

"Perlu ada sanksi buat negara yang menolak atau mau membuka data tapi delay terus. Tapi masih perlu dibicarakan siapa yang beri sanksi, dan apa bentuknya. Apakah negaranya perlu diumumkan atai tidak. Yang jelas, nanti kita dalami lagi di Working Group," tutur dia. (Fik/nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya