Pertamina Keluhkan Susahnya Beli Minyak Produksi Dalam Negeri

Pungutan PPh terhadap pembelian minyak dalam negeri tersebut memberatkan, sehingga membuat KK‎KS enggan menjual minyaknya ke Pertamina.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 21 Sep 2016, 18:00 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2016, 18:00 WIB
Ilustrasi Perusahaan Minyak dan Gas Pertamina (2)
Ilustrasi Perusahaan Minyak dan Gas Pertamina

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) mengalami kesulitan membeli minyak hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Padahal minyak tersebut berasal dari sumur minyak Indonesia.

Senior Vice President Integrated Suply Chain (ISC) Pertamina Daniel Purba mengatakan, kesulitan tersebut karena pengenaan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107 2015, Pasal 22.

"Sayangnya pembelian minyak domestik dari KKKS dikenakan PPh,"‎ kata Daniel, di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (21/9/2016).

Dia melanjutkan, pengenaan PPh dikenakan sebesar 3 persen atas pembelian minyak yang diproduksi  KKKS‎ dengan unit penjualan (trading arm) di luar negeri dan 1,5 persen untuk KKKS yang trading arm berada di dalam negeri.

Menurut Daniel, pungutan PPh terhadap pembelian minyak dalam negeri tersebut memberatkan, sehingga membuat KK‎KS enggan menjual minyak mentahnya ke Pertamina.

Padahal, dengan membeli minyak tersebut Pertamina dapat mengurangi impor minyak mentah dan menghemat devisa.

Karena itu, Pertamina ingin Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan perlakuan khusus dengan membebaskan pungutan PPh untuk pembelian ‎minyak hasil produksi dalam negeri.

"Penjual kena PPh ini lagi diproses (untuk mendapat perlakuan khusus) mudah-mudahan nggak lama, kita harap ini di nolkan," tutur Daniel.

‎Pertamina mengincar 200 ribu barel per hari (bph) minyak hasil produksi KKKS di Indonesia. Namun, karena ada pungutan PPh membuat Pertamina hanya menyerap 12 ribu bph dari KKKS kecil.

‎"12 ribu bph kurang lebih dari  lima KKKS. Kita ingin ‎yang besar lain sedang proses seperti BP, Chevron, ENI, Conoco Phillips," tutup Daniel.(Pew/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya