Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan terus mengimbau kepada Wajib Pajak (WP) untuk ikut program pengampunan pajak atau tax amnesty. Salah satunya dengan mengirimkan email imbauan kepada 204.125 WP yang teridentifikasi belum melaporkan semua hartanya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).
"Kami ingatkan WP kalau terima email imbauan, itu bukan hoax. Itu email dari kita untuk diperhatikan. Jangan sampai di April bilang tidak tahu," tegas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama di kantornya, Jakarta, Rabu (21/12/2016).
Berdasarkan data, dia menyebut, sebanyak 204.125 WP telah menyampaikan SPT Tahunan PPh. Data harta yang dilaporkan di SPT tersebut baru 212.270 item di SPT Tahunan PPh. Sedangkan jika disandingkan dengan data pihak ketiga sebanyak 2.007.390 item harta. Inilah data yang miliki Ditjen Pajak.
Advertisement
Data pihak ketiga ini, sambung Hestu Yoga, berasal dari institusi atau lembaga. Contohnya data transaksi tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan notaris yang dilaporkan ke Ditjen Pajak, data harta kendaraan bermotor dari Polda dan dinas di daerah, kepemilikan saham dari Kemkumham, data harta kepemilikan kapal dari KKP. Pengumpulan data ini sesuai dengan Pasal 35 A UU KUP.
"Jadi rata-rata WP lapornya di SPT cuma satu atau dua item harta, misalnya hanya rumah. Padahal ada harta lainnya yang belum masuk ke SPT, jadi kita imbau ikut tax amnesty sehingga bisa dapat uang tebusan dengan nilai besar," jelas Hestu Yoga.
Lebih jauh katanya, Ditjen Pajak berniat baik mengimbau WP untuk memanfaatkan tax amnesty hingga 31 Maret 2017. Pasalnya, Hestu Yoga mengaku, pihaknya akan melakukan penegakkan hukum sesuai Pasal 18 Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak untuk mengusut harta WP yang belum ikut tax amnesty. Ditjen Pajak pun mengancam dengan pengenaan sanksi.
"Sesuai Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, kalau lewat periode akhir tax amnesty, harta yang tidak diikutkan tax amnesty, lalu ditemukan Ditjen Pajak, kita akan eksekusi April nanti. Kita konsisten jalankan Pasal 18," tegasnya.
Pasal 18 UU Tax Amnesty menyebutkan, dalam hal WP telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
3. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
4. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
"Jadi kalau harta tidak diungkap semua, padahal sudah ikut tax amnesty, WP dikenakan pajak sesuai UU PPh plus sanksi 200 persen," tegas Hestu Yoga.
"Tapi yang belum ikut tax amnesty, harta tidak dilaporkan di SPT dan ditemukan Ditjen Pajak, maka dihitung pajaknya 30 persen plus sanksi bunga 2 persen per bulan. Dihitung sejak ditemukan datanya sampai diterbitkan SKPKB, maksimal 24 bulan," ucapnya.