Liputan6.com, Jakarta Indonesia pernah mengecap masa kejayaan perdagangan teh ke seluruh negara di dunia pada era 1990-an dengan harga paling tinggi. Namun kini, nama besar produk teh dalam negeri menghilang seiring dengan penurunan kualitas dari komoditas strategis ini.
Ketua Jakarta Tea Buyers Association, Farid Akbany,‎ mengungkapkan harga teh produksi dalam negeri jauh dari kata menggembirakan di 2016. Ia menjelaskan, sejak beberapa tahun ini, persoalan harga sudah menjadi keluhan rutin dan seolah-olah masalah tersebut penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan.
"Harga teh kita selalu kalah dengan harga teh di sentra produksi negara lain, seperti Kenya, Sri Lanka, dan India. Hal ini sudah sekian lama terjadi," katanya saat ditemui pada acara Jakarta Auction Tea di kantor KPB Nusantara, Jakarta, Rabu (4/1/2016).
Advertisement
Lebih lanjut Farid mengatakan, ‎masa keemasan teh direguk pada era 1990-an, di mana harga teh Indonesia lebih tinggi dibanding negara lain. Dia berkisah penyelenggara lelang teh di Kolombo pernah sampai datang dan mengintip untuk mencari tahu kenapa harga teh mereka kalah dengan Indonesia.
"Ternyata harga kita pada waktu itu bagus karena para pembeli dari negara lain begitu yakin dengan mutu teh Indonesia, sehingga mereka berani memesan teh hanya dengan menyebut nama kebun dan grade, tanpa melihat sampel karena saat itu mutu teh kita termasuk PTPN begitu konsisten," ujar Farid.
Itu kondisi dulu, beda dengan sekarang. Menurut Farid, ketidakstabilan mutu produksi teh mengakibatkan negara lain tidak lagi mengandalkan teh dari Indonesia. "Yang tadinya beli teh kita, sekarang mengurangi atau bahkan menghentikan pembelian teh Indonesia sama sekali. Makin lama makin sedikit dan packer-lah sekarang menentukan harga," terangnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III Elia Massa Manik mengungkapkan, teh merupakan komoditas yang dikembangkan di Indonesia secara besar-besaran oleh Belanda. Pengembangan teh dipusatkan di Jawa Barat (Jabar).
"Harga tertinggi teh Indonesia di era 1992 pernah mencapai US$ 3,5-US$ 4 per kilogram (kg). Tapi sekarang tinggal US$ 1,2-US$ 1,6 per kg, anjlok sampai 50 persennya," kata dia.
Elia menambahkan, penurunan kualitas teh Indonesia disebabkan Indonesia kurang melakukan pengawasan ‎atau kontrol kualitas di pasar luar negeri dan tidak aktif lagi ikut lelang teh yang diselenggarakan di luar negeri.
"Jadi selama 25 tahun ini kegiatan kita menurun, tidur saja kerja kita. Makanya sekarang kita mau perbaiki kualitas teh Indonesia dan sudah dua tahun ini kita galakkan lagi. Ini saja sudah morat-marit," ujar dia.