Lindungi Pelaut RI, Pemerintah akan Ratifikasi Konvensi ILO

Banyak pelanggaran HAM serius di industri perikanan termasuk perdagangan manusia, penyelundupan manusia, kerja paksa dan eksploitasi anak,

oleh Septian Deny diperbarui 28 Mar 2017, 14:05 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2017, 14:05 WIB
20170327-Menteri Susi Bahas Perlindungan HAM dalam Industri Perikanan-Fanani
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri memberikan sambutan dalam Konferensi Internasional Proteksi HAM Industri Perikanan di kantor KKP, Jakarta, Senin(27/3). Acara konferensi ini turut dihadiri oleh Menteri Susi Pudjisatuti. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan‎. Hal ini untuk meningkatkan perlindungan tenaga kerja termasuk di sektor kelautan dan perikanan.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri ‎mengatakan, pihaknya siap mendukung perlindungan bagi pelaut perikanan atau nelayan‎ melalui penguatan regulasi internasional maupun dalam negeri. Penguatan regulasi tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kondisi tenaga kerja di Indonesia.

"Saya percaya masa depan industri akan menjadi lebih baik, lebih kompetitif, dan terutama kesejahteraan pekerja menjadi lebih baik,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (28/3/2017).

Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan penguatan instrumen regulasi dalam negeri juga dilakukan. Kementerian Ketenagakerjaan bersama-sama dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan harmonisasi regulasi.

Hal tersebut dilakukan guna memperjelas tugas dan fungsi masing-masing kementerian. “Sehingga nanti beda siapa yang akan mengurusi kapal dan siapa yang mengurusi tenaga kerja. Urusan ketenagakerjaan akan diregulasi melalui Kemnaker,” lanjut dia.

Tantangan yang dihadapi di industri perikanan dan keluatan yaitu masih ditemukannya praktek ketenagakerjaan yang belum sesuai dengan regulasi juga norma Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu disebabkan oleh masih informalnya status pekerja Anak Buah Kapal (ABK).

Hanif mencontohkan, selama ini ABK tidak memiliki status hubungan kerja yang jelas atau informal dan tidak adanya kontrak kerja dengan perjanjian yang jelas. Permasalahan lainnya yaitu ABK yang tidak memiliki dokumen resmi dan penempatan wilayah kerja yang tidak jelas. Selain itu juga terjadi di sisi rekrutmen, pelatihan, sertifikasi, serta kebebasan berserikat.

“Ada ABK asal Tegal direkrut kapal berbendera Korea tapi dibawa melaut ke Rusia. Ada juga yang ketika bersandar tidak bisa turun ke darat karena merekaundocumented. Oleh karenanya, kita perlu pastikan untuk menformalkan pekerjaan ini. Dengan begitu perlindungan tenaga kerja akan jelas, kontribusi ke negara meningkat, dan industri akan menjadi lebih kompetitif,” jelas dia.‎

Sebagai informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meIakukan analisa dan evaluasi (AnEv) pada kapal ikan yang pembuatannya dilakukan di luar negeri.

Kegiatan AnEv menemukan banyak pelanggaran HAM serius di industri perikanan termasuk perdagangan manusia, penyelundupan manusia, kerja paksa, eksploitasi anak, penyiksaan, diskriminasi upah dan pembayaran di bawah tingkat minimum, dan bekerja tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.

Ditemukan setidaknya 168 dari 1.132 kapaI ikan yang pembangunannya diIakukan di luar negeri (14,8 persen) melakukan tindak pidana perdagangan manusia dan kerja paksa. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya