Ini Alasan MA Batalkan Aturan soal Transportasi Online

Mahkamah Agung (MA) membatalkan beberapa pasal dalam Permenhub soal transportasi umum tidak dalam trayek.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 22 Agu 2017, 16:45 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2017, 16:45 WIB
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Agung (MA) membatalkan beberapa pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Padahal, peraturan ini menjadi dasar operasi taksi online. Lantas, kenapa dibatalkan?

Dikutip putusan MA, Senin (22/8/2017), pada poin V Kesimpulan disebutkan, peraturan itu tidak menguntungkan bagi pemohon selaku pengusaha mikro dan masyarakat luas sebagai pengguna.

Sebagai contoh, Pasal 19 ayat 2 huruf f dan ayat 3 huruf e dianggap merugikan pengusaha UMKM karena tarif batas atas dan bawah tidak memberikan persaingan yang sehat. Lantaran, pengusaha UMKM yang seharusnya dapat memberikan tarif murah harus menaikkan tarif seperti halnya tarif konvensional.

"Tarif batas atas dan bawah telah menimbulkan biaya tarif yang mahal pada konsumen, karena dengan perjalanan yang jarak dekat dan jauh tidak berdasarkan tarif senyatanya, tetapi tarifnya sudah ditetapkan terlebih dahulu padahal jarak tempuh belum diketahui dengan pasti," demikian dampak pada masyarakat luas dalam kesimpulan tersebut.

Pasal 20 juga memberikan dampak pada pengusaha UMKM. Penetapan pembatasan wilayah menimbulkan persaingan bisnis yang tidak sehat karena mempersempit ruang bagi pelaku usaha UMKM. Itu juga dihadapkan penerapan aturan ganjil-genap.

Bagi masyarakat luas, Pasal 20 dianggap merugikan lantaran membuat masyarakat tidak memiliki pilihan yang luas.

"Sehingga, tarif harga sangat mungkin ditentukan oleh penguasa pasar seperti taksi konvensional yang bebas beroperasi tanpa batas yang berujung konsumen menanggung tarif mahal," tulis kesimpulan itu.

Begitu juga dengan Pasal 21. Ketentuan terkait pembatasan jumlah kendaraan dianggap merugikan pengusaha UMKM.

"Penetapan oleh pemerintah rencana kebutuhan kendaraan untuk jangka waktu 5 tahun dan evaluasi setiap tahun akan membatasi perkembangan pengusaha UMKM," lanjutnya.

Pembatasan jumlah kendaraan ini juga merugikan masyarakat karena tidak menimbulkan persaingan usaha yang sehat. Imbasnya, kecil kemungkinan terbentuknya tarif normal yang terjadi akibat mekanisme pasar.

"Kondisi ini dapat dipermainkan oleh pengusaha, sehingga dapat berdampak biaya tarif tinggi yang akan dibebankan pada konsumen," tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya