Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia memastikan pihaknya tetap akan mengeluarkan aturan mengenai pengenaan biaya isi ulang uang elektronik (e-money), meski bersifat terbatas. Kepuitusan itu ditanggapi oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira.
Dia menilai pengenaan biaya isi ulang uang elektronik berbenturan dengan program pemerintah yang ingin mendorong gerakan non-tunai. Sehingga menghambat pemasaran uang elektronik.
"Di satu sisi menyuruh masyarakat memakai e-money dan mendorong gerakan non tunai tapi justru dikenakan pungutan. Ini jelas disinsentif bagi nasabah e-money khususnya masyarakat pengguna jasa transportasi umum dan tol," ujarnya.‎
Advertisement
Ketika dikenakan biaya isi ulang e-money, kata dia, dikhawatirkan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi. Tentu hal ini malah menjadi kemunduran.
Dirinya juga menyayangkan bank sebagai penyedia kartu e-money, di mana dalam bisnis e-money sebetulnya bank sudah mendapat untung tanpa harus ada pengenaan biaya isi ulang.
"Misalnya dari awal kan masyarakat sudah bayar kartu e-money. Beli perdana Rp 50 ribu, dapat saldo Rp 30 ribu, harga kartu Rp 20 ribu. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-money tidak perlu lagi memungut fee top-up, karena dinilai memberatkan konsumen," jelasnya. ‎
Dia mencontohkan seperti di Hongkong yang menggunakan octopus card. Untuk biaya maintenance mesin EDC dan investasi infrastruktur ditanggung perusahaan penerbit kartu dan operator jasa transportasi publik. Bahkan dengan sharing cost tersebut si konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95 persern penduduk Hongkong menggunakan Octopus card.
"Dalam konteks Indonesia, sharing cost ini bisa dilakukan antara bank penerbit kartu, jasa penyelenggara jalan tol dan merchant penyedia top up. Jadi kalau kebijakan tarif ini tetap dilakukan, masyarakat kembali lagi pakai uang cash. Kecuali di tol karena terpaksa," tegasnya.
‎
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso pun ikut menambahkan, bahwa besaran biaya suatu produk keuangan sebaiknya penetapannya diserahkan ke industri dalam menentukannya.
"‎Kalau soal fee dan sebagainya ini adalah keputusan bagaimana industri untuk memberikan jasa itu. Fee ini biarin keputusan industri," jelasnya.‎
Kendati demikian, lanjut Wimboh, harus dipastikan masyarakat tidak dirugikan dengan penetapan biaya tersebut. Dirinya menyebutkan, bahwa kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama.
‎"Kalau masyarakat dirugikan, misalnya fee terlalu besar dan tidak make sense, ya otoritas concern lindungin masyarakat," tegas Wimboh.‎ (Yas)