Difabel Jadi Driver Go-Jek demi Sekolahkan Anak S1

Kebutuhan ekonomi besar dan terbatasnya akses kerja membuat sebagian orang pesimistis, tapi ini tidak berlaku bagi Dede Atmo Pernoto

oleh Fitriana Monica Sari diperbarui 12 Des 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 12 Des 2017, 18:00 WIB
Transportasi Online
Rombongan pengemudi GoJek melintas di depan Balai Kota Solo, Jateng. (Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Jakarta - Kebutuhan ekonomi yang semakin besar dan terbatasnya akses kerja membuat sebagian besar orang menjadi pesimistis untuk menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tentu akan terasa lebih berat bagi para difabel pada khususnya.

Namun, hal ini nyatanya tidak berlaku bagi salah seorang difabel asal Karangjati Tarub, Tegal, Jawa Tengah, yang bernama Dede Atmo Pernoto. Dia tak menyerah begitu saja dan tetap rela banting tulang dengan memilih berprofesi menjadi driver Go-Jek demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Pria yang akrab disapa Dede Yusuf oleh teman-temannya ini, memutuskan untuk menjadi mitra Go-Jek setelah sekian lama menggeluti berbagai macam pekerjaan.

Kegagalan demi kegagalan yang dia alami dalam menjalankan berbagai macam pekerjaan, akhirnya membawanya berlabuh pada Go-Jek. Meskipun baru dua bulan menjadi driver Go-Jek, bapak satu anak ini mengaku Go-Jek menjadi satu-satunya solusi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

"Saya waktu itu mendaftar ke Go-Jek karena ketika saya ada kebutuhan ekonomi yang mendesak, pekerjaan saya yang lama tidak bisa memenuhinya. Kemudian saya melihat peluang dari Go-Jek dan saya mendaftar lewat SMS. Akhirnya saya datang ke kantor Go-Jek, alhamdulilah diterima tapi saya harus melengkapi SKCK saya," ujar pria berusia 40 tahun ini.

Dede melanjutkan, yang membuat dirinya tertarik menjadi mitra Go-Jek, yakni sistem di perusahaannya yang tidak sama dengan perusahaan lainnya, yang membutuhkan ijazah dari institusi pendidikan.

Jika di Go-Jek, hanya membutuhkan persyaratan dokumen kelengkapan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Catatan Keterangan Kepolisian (SKCK).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Selanjutnya

Untuk kendaraannya sendiri, Dede sengaja membuat motor roda tiga yang membantu dirinya bekerja mengantar penumpang. Motor roda tiga tersebut diakuinya, sudah dibuat jauh-jauh hari sebelum dia masuk Go-Jek.

"Kebetulan waktu itu, saya ada rezeki, saya buat motor roda tiga ini, alhamdulilah enggak lama dipanggil kerja di Go-Jek," ujarnya sambil tersenyum.

Dalam kesehariannya menarik penumpang, tak jarang Dede mendapatkan pengalaman menarik dari mulai penumpang yang kaget karena dirinya difabel, cancel order karena si penumpang takut celaka, sampai penumpang yang dermawan memberikan ongkos lebih kepada Dede. Itu semua dijadikannya sebagai pengalaman.

Kini, dengan menjadi driver Go-Jek yang beroperasi di wilayah Tegal, Dede mengaku sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup istri dan anaknya. Dede mengakui, peran Go-Jek dalam hidupnya saat ini sangat luar biasa. Bahkan, sebagian uang penghasilannya saat ini bisa disisihkan untuk menabung. Hasil tabungan yang sedikit demi sedikit disisihkan tersebut, diakuinya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga menjadi sarjana kelak.

"Anak saya harus lebih dari saya. Dengan adanya saya bermitra dengan Go-Jek, saya bisa menabung untuk masa depan anak-anak saya nanti. Ya, jangan sampai seperti bapaknya. Sekolah yang tinggi dan jadi orang berguna untuk orang banyak," ujar pria yang pernah bekerja sebagai penjual rokok, penjual pakan burung, dan penyemir sepatu dengan kursi roda ini.

Dia pun berjanji akan bekerja dengan sepenuh hati menjadi driver Go-Jek yang setiap hari mengangkut penumpang yang berbeda. Keterbatasan baginya bukan menjadi penghalang untuk bekerja demi orang-orang yang dia cintai.

Meskipun dia pernah diprotes oleh keluarga yang meminta untuk bekerja di profesi yang lain, Dede yakin, derajat keluarganya bisa terangkat dengan pekerjaannya saat ini.

Selanjutnya

Saat ini, selain bekerja sebagai pengemudi Go-jek, Dede juga disibukkan dengan kegiatan organisasi yang giat mengawal isu difabel dan kusta.

Kelompok Difabel Slawi Mandiri (DSM) merupakan nama organisasi yang diampunya bersama kawan-kawan difabel lainnya. Banyak kegiatan yang dia lakukan bersama rekan-rekan difabel lainnya demi mendapatkan penyamarataan status sama dengan orang normal. Salah satunya dengan mengadvokasi masyarakat soal pendidikan, identitas, dan kartu sehat yang layak diterima oleh masyarakat yang difabel.

"Di sini banyak kantor yang belum ramah difabel, masih belum ada perhatian terhadap kaum seperti kita. Itu sering kami suarakan. Kalau untuk pendidikan, kami menyuarakan agar sekolah-sekolah umum itu bisa menerima murid-murid yang difabel. Sedangkan untuk KTP, kami suarakan betul, karena kalau mereka tidak punya KTP, mereka tidak bisa punya kartu sehat dan tidak terdaftar juga sebagai penduduk Indonesia," jelas dia.

Dede menjelaskan, DSM sendiri telah berdiri selama delapan tahun di Slawi dan saat ini memiliki 150 anggota. Tak hanya kegiatan advokasi yang dia jalankan bersama rekan-rekannya, tapi juga kegiatan rutin lainnya, seperti sharing sesama anggota difabel, senam, pentas seni, dan pendataan-pendataan.

Bagi dia, dengan menjadi bagian dari DSM dan Go-Jek tidak membuatnya lelah dan merasa jenuh. Karena baginya, ketika tubuh dan pikirannya bermanfaat untuk orang lain utamanya untuk sesama kaum difabel, ada kebanggaan tersendiri yang dirasakan.

"Prinsip saya satu, meskipun saya seperti ini, tapi saya ingin sekali bermanfaat, berguna buat orang lain. Ketika saya terbatas, saya tidak mau merugikan mereka yang normal," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya