Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerbitkan rekomendasi impor garam industri sebanyak 676 ribu ton. Rekomendasi tersebut pasca terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, rekomendasi impor garam diberikan kepada 27 industri di dalam negeri, di antaranya di sektor farmasi, kertas, serta makanan dan minuman.
Advertisement
Baca Juga
"Yang 600 ribu ton kita keluarkan untuk 27 perusahaan," ujar dia di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Sigit mengungkapkan, jika proses impor garam industri tersebut segera dilakukan oleh industri, maka diperkirakan garamnya baru akan masuk pada tiga pekan ke depan. Namun diharapkan garam impor tersebut bisa segera masuk agar industri tidak lagi khawatir kehabisan bahan baku.
"Ya dua sampai tiga minggu (sampai ke Indonesia)," kata dia.
Sejauh ini, lanjut Sigit, industri paling banyak mendatangkan garamnya dari Australia. Kemudian disusul oleh China, dan India.
"Paling dekat Australia, China bisa, dari beberapa negara lain bisa. India bisa (impor garam industri)," tandas dia.
RI Impor Garam 299 Ribu Ton Selama 2 Bulan
Selama dua bulan pada Januari-Februari 2018, garam impor yang masuk ke Indonesia mencapai 299.218 ton senilai USD 9,5 juta. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan impor pada periode yang sama di 2017 yang sebesar 184.160 ton dengan nilai USD 6,37 juta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada Januari 2018 garam impor yang masuk ke Indonesia sebesar 131.957 ton senilai USD 3,88 juta. Sementara pada Februari 2018, Indonesia mengimpor garam sebanyak 167.261 ton dengan nilai USD 5,61 juta.
Dari 299.218 ton tersebut, impor garam terbesar berasal dari Australia, yaitu sebanyak 199.518 ton senilai USD 6,83 juta. Kemudian disusul dari India sebesar 99.214 ton dengan nilai USD 2,86 juta.
Selain itu, Indonesia juga tercatat melakukan mengimpor garam dari Selandia Baru sejumlah 336 ton senilai USD 141 ribu, dari Singapura sebanyak 100 ton dengan nilai USD 16 ribu dan dari Thailand sebanyak 49 ton dengan nilai USD 7.938.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, garam merupakan salah satu bahan baku pokok yang dibutuhkan bagi sebagian sektor industri di dalam negeri untuk menunjang keberlanjutan produksinya.
Industri manufaktur yang mengkonsumsi garam industri ini disebut sebagai sektor andalan dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional dan menyerap banyak tenaga kerja. Oleh sebab itu perlu dijaga ketersediaan bahan bakunya.
Menurut Airlangga, garam sebagai komoditas strategis, juga dapat mendukung rantai pasok dan meningkatkan nilai tambah sejumlah industri di Indonesia. Jadi, sama pentingnya dengan bahan baku lainnya seperti baja dan produk petrokimia.
"Penggunaan garam ini sangat luas, antara lain di industri kimia, aneka pangan dan minuman, farmasi dan kosmetika, hingga pengeboran minyak. Bahkan, tanpa garam, industri kertas tidak berproduksi, dan kontak lensa tidak bisa jadi,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Advertisement
Selanjutnya
Dia menjelaskan, sektor manufaktur yang membutuhkan garam industri sebagai bahan bakunya tersebut, telah beroperasi cukup lama di Indonesia. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun.
"Oleh karenanya, pemerintah terus mendorong kontinuitas produksi industri nasional, karena berdampak pada lapangan pekerjaan, pemenuhan untuk pasar domestik, serta penerimaan negara dari ekspor,” lanjut dia.
Airlangga mengungkapkan, kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97 persen. Namun, masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti Kalsium dan Magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah.
Standar kualitas tersebut yang dibutuhkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plan (soda kostik). Sedangkan garam yang digunakan oleh industri farmasi untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah, harus mengandung NaCl 99,9 persen.
"Jadi, pemerintah mengimpor garam untuk kebutuhan bahan baku industri-industri tersebut. Sedangkan untuk garam konsumsi, masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional,” ujar dia.