Ini Beda Urus Izin Fintech di BI dan OJK

Perubahan sistem pembayaran digital seperti fintech memang sejalan dengan langkah Bank Indonesia yang menggiatkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) pada 2014.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mar 2018, 14:18 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2018, 14:18 WIB
Fintech
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan era digital yang begitu pesat di Indonesia telah mengubah gaya hidup masyarakat, salah satunya terkait penggunaan uang tunai. Kini, lambat laun cashless society sudah terbentuk di masyarakat.

Perubahan sistem pembayaran digital ini memang sejalan dengan langkah Bank Indonesia yang menggiatkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) pada 2014.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rata-rata nilai transaksi harian pengguna uang elektronik sepanjang 2017 mencapai Rp 60 miliar, atau naik 120 persen dibandingkan periode sama tahun 2016 yang hanya mencapai Rp 27,7 miliar.

Adanya gerakan nontunai tersebut turut mendorong pelaku startup masuk ke industri financial technology (fintech) di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman mengakui banyak perusahaan yang ingin terjun ke bisnis fintech. Dengan model bisnis berbeda-beda, mereka pun ingin mengurus izin beroperasi legal di Tanah Air.

"Banyak dan model bisnis berbeda-beda. Ada yang butuh izin BI, ada yang butuh izin OJK, dan ada juga yang harus lapor Kominfo. Tergantung bisnisnya," jelas Aji di Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Dalam pengurusan izin, Aji mengakui ada kesulitan berbeda antara tiap regulator. OJK misalnya, terbilang lebih mudah dibanding dengan Bank Indonesia.

Selama ini, OJK lebih mendahulukan perizinan dan melihat operasional perusahaan selama satu tahun berjalan. Jika dalam perjalanannya perusahaan tersebut tak baik, maka izinnya akan dicabut.

"Sementara di BI itu pre-audit. Jadi di audit dulu perusahaan dan itu kan lama, akhirnya perusahaan juga tidak bisa berjalan. Kasihan perusahaan tidak bisa berjalan selama proses audit, itu lama. Kalau di OJK jalan dulu, sekaligus diaudit dan diberi waktu misalnya satu tahun," katanya

Beberapa perusahaan fintech yang harus mengurus izin ke BI adalah yang bergerak di bidang e-money, e-wallet, sistem pembayaran dan lainnya. Semuanya itu harus melewati beberapa tahap perizinan di bank sentral.

"Memang peer to peer landing yang izinnya ke OJK lebih mudah dan sekarang sudah ada sekitar 40 mendapat izin. Mungkin BI ada pertimbangan lain seperti makroprudensial, sistem pembayaran dan lainnya," dia menandaskan.

Ke depannya, dia berharap BI maupun OJk bisa mencarikan solusi agar perusahaan fintech ini tidak kesulitan mendapatkan perizinan.

"Harapan saya perizinan bahwa menilai layak izin atau tidak diterapkan sistem seperti OJK, artinya apply, beri saja dulu izin, beri waktu satu tahun apa kredible atau tidak. kalau tidak cabut izin saja," tegasnya.

Reporter: Idris Rusasi Putra

Sumber: Merdeka.com

Fintech Jadi Ancaman Industri Perbankan RI dalam 5 Tahun Mendatang

Grafis Fintech
Grafis distribusi ekosistem Fintech di Indonesia

Risiko teknologi dan disrupsi Financial Technology (fintech) dipandang sebagai risiko yang bakal menghantui industri perbankan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Survei Perbankan Indonesia 2018 yang dirilis Pricewaterhouse Coopers (PwC).

Dalam laporannya, PwC menyebut sebanyak 41 persen responden yang datang dari bank besar merasa bahwa fintech bakal menjadi ancaman yang signifikan dalam lima tahun mendatang.

Hal yang sama juga dikatakan responden dari bank kecil, di mana 19 persen merasa fintech bakal jadi ancaman signifikan.

PwC Indonesia Advisor Chan Cheong mengatakan, hal ini terjadi karena perubahan yang terjadi pada konsumen. Konsumen terutama di Indonesia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan yang serbadigital. Kehadiran fintech bisa mengakomodasi hal tersebut.

"Lima tahun yang lalu, menggunakan mobile app jadi hal yang baru. Tapi kini itu sudah jadi hal biasa. Adanya fintech memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, jika perbankan tidak segera berbenah, maka akan ketinggalan," kata Chan Cheong di Jakarta, Selasa (27/2/2018)

Meski jadi salah satu hal yang harus menjadi fokus bank, PwC melaporkan belum banyak bank yang berinvestasi di hal ini. Hanya 22 persen bank yang memasukkan fintech sebagai salah satu area investasi utama mereka dalam beberapa tahun mendatang.

"Investasi di fintech masih relatif rendah dibanding investasi di bidang teknologi yang lain," tulis PwC dalam laporannya.

Survei Perbankan PwC Indonesia dilakukan terhadap 65 responden dari 49 bank yang berada di Indonesia. Para responden merupakan pejabat di tingkat manajemen senior pada masing-masing bank tersebut.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya