Pengamat Paparkan Alasan RI Kuasai Saham Freeport lewat Akuisisi

Pengamat energi Fahmi Radhi menuturkan, jika ambil saham Freeport dengan mekanisme nasionalisasi punya risiko RI dikucilkan dan kena sanksi ekonomi.

oleh Septian Deny diperbarui 23 Jul 2018, 13:19 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2018, 13:19 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - PT Freeport Indonesia telah sepakat untuk mendivestasi 51 persen sahamnya ke pemerintah Indonesia. Meski kesepakatan tersebut baru tertuang dalam Heads of Agreement (HoA) yang ditandatangani PTFI dengan PT Inalum (Persero). 

Pengamat energi UGM Fahmi Radhi mengungkapkan, divestasi 51 persen saham Freeport memang menjadi mekanisme yang paling masuk akal bagi Indonesia untuk bisa menguasai perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.

"Itu satu-satunya opsi yang paling rasional, dan affordable, 51 persen ini memang tidak 100 persen (menguasai), tapi kita menjadi mayoritas, lazimnya pemegang saham mayoritas, dia bisa mengambil keputusan dalam rapat pemegang saham," ujar dia dalam acara Forum Merdeka Barat di Jakarta, Senin (23/7/2018).

‎‎Dia mengungkapkan, jika menggunakan mekanisme nasionalisasi, maka ada sejumlah hal yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia, termasuk kemungkinan mendapatkan tekanan hingga dikucilkan oleh AS.

"Di era globalisasi, nasionalisasi bukan lagi metode yang tepat untuk pengambilalihan pertambangan Freeport. Risikonya kita akan dikucilkan, diadukan ke arbitrase internasional, kena sanksi ekonomi‎. Akan ada tekanan dari AS. Di Venezuela ada nasionalisasi perusahaan AS, tapi kemudian presidennya mati, katanya kena serangan jantung," ujar dia.

Oleh sebab itu, meski hanya memiliki 51 persen, namun pemerintah melalui Inalum bisa mengubah rencana bisnis PT Freeport Indonesia agar lebih banyak memberikan keuntungan bagi Indonesia, khususnya masyarakat Papua.

"Kalau dividen selama ini menjadi laba ditahan dengan alasan untuk investasi, kalau Freeport McMoran selama ini bilang smelter tidak usah dibangun, tapi kalau dengan pemerintah mayoritas maka akan mengambil keputusan yang menguntungkan Indonesia," ujar dia.

 

Ingin Penjelasan soal Freeport, DPR akan Panggil Inalum dan Kementerian ESDM

banner Freeport
Perubahan Status Kontrak Freeport Indonesia

Sebelumnya, Komisi VII DPR RI dalam waktu dekat ini berencana memanggil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) terkait langkah akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Tamsil Linrung menyatakan, sejauh ini pihaknya masih percaya kepada pemerintah soal divestasi 51 persen saham PTFI. Namun begitu, ia akan tetap coba memanggil Kementerian ESDM dan Inalum untuk memberikan penjelasan pasti terkait perkara tersebut.

"Kita belum dipaparkan secara resmi dari Kementerian (ESDM), bagaimana sesungguhnya komposisi yang riilnya itu. Kita akan panggil Kementerian untuk membawa sekaligus PT Inalum sebagai yang mewakili pemerintah menjadi pemegang saham," ungkap dia di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin 16 Juli 2018.

Dia mengatakan, Komisi VII DPR RI bakal memprakarsai pemanggilan Kementerian ESDM dan Inalum pada Rabu, 18 Juli 2018 mendatang. "Nanti kita akan mendengarkan penjelasannya," ujar dia.

Sebelumnya PT Inalum (Persero) sudah menandatangani Head of Agreement (HoA) pada Kamis, (12/7/2018) terkait pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia dari Freeport McMoran dan Rio Tinto.

Penandatanganan HoA itu menimbulkan perdebatan. Sebab beberapa pihak menilai bahwa negara belum mutlak menguasai separuh saham PTFI.

Seperti yang diutarakan Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, yang menyebutkan perjanjian tersebut masih bersifat non-binding agreement.

"Masih ada sejumlah tahap, langkah berikutnya adalah negosiasi perjanjian teknis. Bukannya tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan. Suatu hal yang tentu tidak diharapkan," tutur dia seraya mewanti-wanti.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya