Ingin Penjelasan Soal Freeport, DPR akan Panggil Inalum dan Kementerian ESDM

Komisi VII DPR RI bakal memprakarsai pemanggilan Kementerian ESDM dan Inalum terkait Divestasi Freeport pada Rabu, 18 Juli 2018 mendatang.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 16 Jul 2018, 19:46 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2018, 19:46 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Komisi VII DPR RI dalam waktu dekat ini berencana memanggil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) terkait langkah akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Tamsil Linrung menyatakan, sejauh ini pihaknya masih percaya kepada pemerintah soal divestasi 51 persen saham PTFI. Namun begitu, ia akan tetap coba memanggil Kementerian ESDM dan Inalum untuk memberikan penjelasan pasti terkait perkara tersebut.

"Kita belum dipaparkan secara resmi dari Kementerian (ESDM), bagaimana sesungguhnya komposisi yang riilnya itu. Kita akan panggil Kementerian untuk membawa sekaligus PT Inalum sebagai yang mewakili pemerintah menjadi pemegang saham," ungkap dia di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (16/7/2018).

Dia mengatakan, Komisi VII DPR RI bakal memprakarsai pemanggilan Kementerian ESDM dan Inalum pada Rabu, 18 Juli 2018 mendatang. "Nanti kita akan mendengarkan penjelasannya," jelas dia.

Sebelumnya PT Inalum (Persero) sudah menandatangani Head of Agreement (HoA) pada Kamis, (12/7/2018) terkait pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia dari Freeport McMoran dan Rio Tinto.

Penandatanganan HoA itu menimbulkan perdebatan. Sebab beberapa pihak menilai bahwa negara belum mutlak menguasai separuh saham PTFI.

Seperti yang diutarakan Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, yang menyebutkan perjanjian tersebut masih bersifat non-binding agreement.

"Masih ada sejumlah tahap, langkah berikutnya adalah negosiasi perjanjian teknis. Bukannya tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan. Suatu hal yang tentu tidak diharapkan," tutur dia seraya mewanti-wanti.

Ini Sebab Inalum Tak Tunggu Kontrak Habis buat Kuasai Freeport

Saham PT Freeport
CEO PT Freeport Richard Adkerson dan Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin disaksikan Menkeu, Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Menteri LHK menandatangani pengambilalihan saham 51% PT Freeport Indonesia di Jakarta, Kamis (12/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Freeport McMoran, Rio Tinto dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) telah menandatangani Head of Agreement (HoA) pada Kamis pekan lalu. Langkah tersebut merupakan langkah awal untuk menguasai Freeport Indonesia.

Namun hal tersebut disayangkan beberapa pihak, karena terkesan terburu-buru tidak menunggu hingga habis kontrak pada 2021.

Terlebih holding Badan Usaha Milik Negara‎ (BUMN) pertambangan tersebut harus berutang agar dapat menggenapi saham menjadi 51 persen.

‎Head of Corporate Communication and Goverment Relation PT Inalum, Rendy Witoelar menjelaskan, Indonesia tidak bisa memiliki tambang Grasberg Papua, yang saat ini dikelola Freeport Indonesia secara gratis meski kontraknya sudah habis pada 2021.

Sebab berdasarkan Kontrak Karya Pasal 22 ayat 1 menyebutkan, sesudah pengakhiran persetujuan berdasarkan pasal 22 ini atau pengakhiran persetujuan ini karena alasan berakhirnya jangka waktu persetujuan ini, semua kekayaan kontrak karya milik perusahaan yang bergerak atau tidak bergerak, yang terdapat di wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar, yang mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku.

Dengan begitu, pemerintah harus membeli seluruh kekayaan Freeport Indonesia yang bergerak maupun dengan nilai tidak lebih rendah dari book value atau disebut nilai buku. Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan yang diaudit ada di sekitar USD 6 miliar. 

"Pemerintah pun wajib membeli pembangkit listrik yang di area tersebut senilai lebih dari Rp 2 triliun," kata  Rendy, saat berbincang dengan Liputan6.com,dikutip di Jakarta, Senin (16/7/2018).

Rendy melanjutkan, dalam Kontrak Karya perusahaan asal Amerika Serikat tersebut menafsirkan, berhak mengajukan perpanjangan masa operasi 2 kali 10 tahun setelah kontrak habis pada 2021.

Pemerintah pun tidak akan menahan pengajuan tersebut atau menunda persetujuan secara tidak wajar. Hal ini tercantum dalam ‎Pasal 31 ayat 2 Kontrak karya.

Rendy menuturkan, jika pemerintah memutuskan mengambil alih Freeport Indonesia setelah masa kontrak habis pada 2021, dengan tidak memperpanjang kontrak maka berpotensi penyelesaian di arbitrase.

"Setelah 2021 kita tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis," ujar dia.

Rendy melanjutkan, Indonesia berisiko tidak menangkan arbitrase. "Ini karena dalam Pasal Kontrak Karya tersebut tercantum kalimat "Pemerintah pun tidak akan menahan pengajuan tersebut atau menunda persetujuan secara tidak wajar‎," ujar dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya