Bos Bappenas Ungkap Efek Kenaikan Suku Bunga BI ke Sektor Industri

Kenaikan suku bunga acuan BI akan berdampak pada sektor industri.

oleh Merdeka.com diperbarui 05 Des 2018, 20:50 WIB
Diterbitkan 05 Des 2018, 20:50 WIB
Komisi XI DPR RI Gelar Rapat Kerja Dengan Bappenas
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (19/9). Bambang memaparkan pagu anggaran 2019 untuk Kementerian PPN/Bappenas turun menjadi Rp1,781 triliun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan kenaikan Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 6 persen, akan berdampak pada sektor industri. Salah satunya memicu kenaikan pada cost of fund dan mengganggu demand dari sektor industri.

"Jika kebijakan suku bunga naik, maka pasti bisnis sektor swasta akan terdampak. Cost of fund akan lebih tinggi. Permintaan dari sektor swasta mungkin akan sedikit terganggu dengan interest rate yang tinggi," kata Bambang, dalam acara High Level Policy Round Table on Manufacturing Sector Review, di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (5/12/2018).

Menurutnya, langkah BI menaikkan suku bunga tidak lain untuk memitigasi tekanan terhadap rupiah. Karena itu, naiknya suku bunga BI mesti diimbangi oleh kebijakan fiskal yang baik agar sektor industri tidak terlalu terbebani.

"Kita perlu memperhatikan ketatnya ruang fiskal yang kita hadapi pada saat yang sama. Tentu dalam kasus ini kita perlu mengevaluasi apakah kebijakan fiskal yang ketat akan membantu. Sebab pertanyaan khususnya untuk sektor industri dari mana permintaan akan datang," imbuhnya.

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, mengatakan hal yang mesti diperhatikan ke depan adalah bagaimana menyiapkan struktur penyokong ekonomi yang lebih kokoh. Sebab selama ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada komoditas. Diketahui kinerja komoditas amat bergantung pada harga dunia.

"Tahun 1999 sampai 2010 kita punya booming komoditas. Selama booming harga komoditas, kita alami surplus current account, tapi surplus current account kita karena booming harga komoditas. Ketika harga komoditas jatuh, kita alami current account defisit," kata dia.

"Kemudian Bank Indonesia dalam upaya stabilisasi menaikan suku bunga. Jadi Bank Indonesia hanya merespon masalah struktural ekonomi negara ini," imbuhnya.

Dia pun mendorong agar Indonesia perlu memperkuat dan mengembangkan sektor yang lebih kokoh dalam mendukung perekonomian, seperti pariwisata dan industri. "Perubahan struktural bagaimana mengurangi current account kita tidak lebih dari 2 persen dari GDP. Caranya adalah melalui pariwisata dan industri," tandasnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya