Liputan6.com, Jakarta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro membeberkan penyebab Indonesia belum pernah menjadi negara industri sepenuhnya. Ini karena ketergantungan Indonesia terhadap Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup tinggi.
"Mengapa meskipun sudah jadi kebutuhan dan keinginan, Indonesia belum bisa menjadi negara industri sesungguhnya?. Pertama begitu menariknya yang namanya SDA terutama pertambagan dengan bahan tambangnya luar biasa. Variasinya cukup banyak dan beberapa termasuk terbesar di dunia," ujar Menteri Bambang di Kantornya, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup bervariasi ini, kata Menteri Bambang, membuat orang Indonesia lebih suka menjual komoditas. Apalagi, sektor ini tak membutuhkan waktu pengolahan yang cukup lama meskipun biaya yang dikeluarkan lebih besar.
Advertisement
"Indonesia menghadapi dilema boleh dibilang kebiasaan kita. Sayangnya ini belum berubah. Indonesia kurang sabar melalui tahapan pembangunan sektor industri tidak pendek dan tidak mudah pasti ada up and down nya kurang teknolgi dan sebagainya," jelasnya.
Menteri Bambang melanjutkan, harga komoditas tidak selalu membaik sepanjang waktu. Hal ini kemudian mempengaruhi pendapatan Indonesia dari sektor tersebut menjadi fluktuatif.
"Ketika ada perkembangan industri tahu-tahu tambang ada kabar baik maka orang melupakan nidnustir dan kembali ke tambang. Padahal yang seharusnya didorong itu adalah industrinya," jelasnya.
Mantan Menteri Keuangan tersebut menambahkan, seluruh negara di dunia memerlukan sektor industri untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Khusus untuk negara G-20 hanya ada dua negara yang tidak berbasis Industri.
"Kalau bicara G-20 yang tidak bertumpu pada industri hanya dua. Saudi Arabia yang bergantung minyak satu lagi Australia. Australia adalah negara yang mengandalkan industri dan jasa di SDA," tandasnya.
Reporter: Anggun P Situmorang
Sumber : Merdeka.com
Tantangan Ekonomi RI pada 2019 versi ISEI
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengapresiasi kinerja ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) pada 2018.
Pengurus pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Destry Damayanti menilai, ada beberapa indikator ekonomi Indonesia yang membaik pada 2018. Hal itu antara lain inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Pencapaian perekonomian di 2018 itu menurut saya cukup baik. Keseluruhan untuk kuartal keempat pertumbuhan ekonomi kita perkirakan 5,1 persen itu achievable. Kemudian inflasi di 3 persen, itu sudah cukup baik," ujar dia saat ditemui di Gedung Kahmi Centre, Jakarta Selatan, Rabu (12/12/2018).
Baca Juga
Dengan kondisi ketidakpastian global yang tidak bersahabat, Destry menilai pemerintah cukup baik merespons dan mempertahankan ekonomi dalam negeri. Ini ditunjukkan dari segi fiskal.
"Dari segi fiskal lebih produktif ya, kelihatan dari deposit budget yang diperkirakan lebih rendah dari perkiraan awal 2,2 persen. Kemudian kita lihat dari penerimaan, khususnya penerimaan pajak dengan pencapaian di atas 90 persen itu buat kita juga prestasi sekali," ujar dia.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 sebesar 5,17 persen. Angka ini lebih rendah dari kuartal sebelumnya 5,27 persen. Akan tetapi, lebih tinggi dari kuartal III 2017 sebesar 5,06 persen.
Selain itu, realisasi penerimaan pendapatan negara dan hibah hingga akhir November 2018 capai Rp 1.654,5 triliun atau 87,3 persen dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun. Penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.301,4 triliun atau 80,4 persen dari target APBN 2018.
Tak hanya itu, Destry pun menilai kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah cukup berhasil di tengah memanasnya sentimen global.
"Jadi perekonomian 2018 ini kita pikir sudah on track ya," tutur dia.
Advertisement