Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan 30 persen komposisi minyak sawit atau Fatty Acid Methyl Ester (Fame) pada solar (B30) akan diterapkan pada awal 2020, hal ini diterapkan setelah hasil uji coba penggunaan B30 pada kendaraan bermesin diesel yang selesai pada akhir Oktober 2019.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Djoko Siswanto mengatakan, penerapan B30 sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana diubah terkahir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2015, bahwa untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, maka Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak dan Penggguna Langsung Bahan Bakar Minyak wajib menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau Biofuel sebagai bahan bakar lain secara bertahap.
"Dari tahun ke tahun, Potential saving hasil pencampuran BBN dengan minyak Solar semakin meningkat," kata Djoko, dikutip dari situs resmi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, di Jakarta, Senin (21/10/2019).
Advertisement
Baca Juga
Pada tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) c.q. Ditjen Migas telah melakukan uji jalan B30, yang dilanjutkan pengujian pada kereta api, alat berat, alutsista dll. Meskipun Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Migas sudah siap, namun kesiapan dari penyediaan fasilitas juga perlu penjadi perhatian.
Ke depan, untuk pelaksanaan B30 banyak tantangan dan peluang yang akan dihadapi pertama jaminan keberlanjutan stok dan stabilitas harga minyak sawit.
* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kesiapan Industri Penunjang
Dua kesiapan industri-industri penunjang seperti industri Methanol, industri Katalis, produksi Degum CPO dan PKO. Keterbatasan sarana dan prasarana seperti dermaga, Terminal BBM, kapal pengangkut yang sesuai dengan spesifikasi Fame. Ketiga mekanisme insentif yang sangat banyak, bergantung pada pungutan dan pajak keluar.
Keempat sebaran Badan Usaha BBN Biodiesel yang tidak merata, dimana saat ini pabrik biodiesel lebih banyak berada di Indonesia Bagian Barat. Keterbatasan sarana dan prasarana pelabuhan, Terminal BBM, kapal pengangkut, yang sesuai dengan spesifikasi Fame. Kelima, untuk menjaga kualitas BBN diperlukan pengetahuan handling dan stori ng yang sesuai standard. Keenam, adanya negative campaign dari beberapa negara tujuan utama ekspor mencari pasar baru.
"Hingga saat ini Ditjen Migas masih terus melakukan pengawasan implementasi atas pencampuran spesifikasi BBN ke minyak Solar ssesuai dengan ketentuan perundang undnagan yang berlaku," tuturnya.
Advertisement
Mengurangi Impor Solar
Penggunaan 30 persen Fame dengan solar berpotensi mengurangi impor minyak Solar. Sebelumnya dengan program B10 dan B20 saja untuk Solar Public Service Obligation (PSO) atau subsidi dalm kurun waktu Januari sampai Agustus 2018 terdapat potensi penghematan sebesar USD 952,79 juta.
Selanjutnya, untuk Solar Non PSO dalam kurun waktu September hingga Desember 2018 diperhitungan angka potential saving sebesar US$ 931 juta. Bahkan pada 2019 ini, Januari sampai Agustus untuk Solar Non PSO angka potensi hematnya mencapai USD 1,89 milyar.
“Biosolar mampu menekan angka impor Minyak Solar. Selain itu juga mampu menjadi energi alternatif yang ramah lingkungan, pun dari segi ekonomi mampu membantu perekonomian para petani sawit,” tandas Djoko.