Liputan6.com, Jakarta Kondisi ekspor Indonesia sepanjang 2020 diprediksi terkoreksi negatif. Hal ini terjadi seiring dampak dari Covid-19 yang membuat permintaan sejumlah negara-negara tujuan ekspor mengalami penurunan.
"Ekspor ini agak susah. Karena ekspor ini masih bergantung dengan kondisi ekonomi global. Ekspektasi untuk tahun ini masih negatif kalau perhitungan kasar kami," ungkap Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Reza Yamora Siregar dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Baca Juga
Kondisi pelemahan ekspor ini juga membuat permintaan impor Indonesia ke negara tujuan menjadi rendah. Sehingga kedua sektor ini pertumbuhannya akan sama-sama mengalami tekanan mendalam.
Advertisement
"Jadi kalau kita bicara net ekspor, ekspor minus impor, kan posisi kita sudah cukup membaik ke sekitar 1,5 persen of GDP. Karena memang ekspor kita hancur, tapi impor kita lebih hancur lagi," imbuh Reza.
Di samping itu, kebijakan lockdown di sejumlah negara-negara tujuan membuat ekspor dan impor Indonesia menjadi tertekan. Kondisi itu yang kemudian berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2020..
"Jadi artinya kalau ekspor turun, impor kita juga turun, malah lebih berat. Akibatnya nett ekspor kita tidak membawa PDB kita. Kalau ekspor susah dalam kondisi ini, dan kita memang ekspektasi pertumbuhan ekspor masih dalam kurva negatif," pungkas Reza.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Ada Sengketa Dagang, Indonesia Berpotensi Kehilangan Devisa Rp 26,5 Triliun
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia mencatat terdapat 196 kebijakan perdagangan khusus yang diterapkan oleh negara-negara anggota pada masa pandemi covid-19.
“Indonesia sendiri mencatatkan lima kebijakan perdagangan yang direlaksasi maupun diatur tata niaganya,” kata Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Srie Agustina, dalam web seminar “Trade Remedi di Masa Pandemi: Peluang dan Tantangan”, Senin (8/6/2020).
Kebijakan tersebut antara lain relaksasi impor bawang bombai dan bawang putih. Ada juga relaksasi impor gula. Selain itu juga kebijakan larangan ekspor alat pelindung diri atau APD dan kebutuhan medis.
Srie menjelaskan, kebijakan untuk impor gula dan bawang dilakukan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Sedangkan untuk larangan ekspor APD untuk pemenuhan pasar dalam negeri, dan ekspor kebutuhan medis juga untuk kebutuhan di dalam negeri.
Menurutnya, memang dalam masa pandemi covid-19 ini ada tuduhan baru anti dumping dan aturan pengamanan perdagangan (safeguard), yang dilakukan negara mitra terhadap produk ekspor Indonesia.
Tuduhan tersebut untuk produk yang bervariasi mulai produk baja, kayu, benang tekstil, bahan kimia, dan produk otomotif. Semua tuduhan itu berpotensi akan menyebabkan hilangnya devisa negara yang diperkirakan USD 1,9 miliar atau setara dengan Rp 26,5 triliun.
“Itu suatu angka yang tidak sedikit di tengah kita membutuhkan sumber-sumber devisa untuk pendapatan negara, sungguh jumlah yang besar untuk jangka waktu hanya 5 bulan saja. Semua data tersebut menunjukkan bahwa ke depan tantangan yang akan kita hadapi sebagai bangsa Indonesia ternyata tidak mudah,” ujarnya.
Advertisement