Sertifikasi Produk Farmasi dan Alat Kesehatan Bakal Pakai Dana PEN

Pemerintah berencana melakukan sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap produk farmasi dan kesehatan buatan anak bangsa.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Sep 2020, 20:23 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2020, 20:23 WIB
Rumah Sakit Antam Medika Memiliki Fasilitas Penanganan Pasien Covid-19
RSAM memiliki fasilitas Intensive Care Unit (ICU) khusus dan peralatan kesehatan penunjang penanganan Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana melakukan sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap produk farmasi dan kesehatan buatan anak bangsa. Sertifikasi ini direncanakan menggunakan dana dari APBN.

Terkait hal tersebut, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengatakan bakal terus bersinergi dengan DPR demi mewujudkannya. Namun, pembiayaan sertifikasi ini tidak akan merubah pagu anggaran masing-masing kementerian lembaga.

"Hari ini persetujuan dari DPR, PAGU masing-masing kementerian/lembaga tidak mengalami perubahan," kata Askolani dalam Rapat Koordinasi Pembiayaan Sertifikasi TKDN oleh Pemerintah melalui APBN, Jakarta, Selasa (29/9).

Pendanaan sertifikasi tersebut kata Askolani bisa menggunakan dana dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun anggaran 2020. Bila masih kekurangan, bisa juga menggunakan anggaran PEN 2021.

Dia meyakini cara ini bakal disetujui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

"Bisa dimasukkan dalam program PEN tahun ini dan juga akan kita optimalkan di tahun 2021. Bu Menkeu Sri Mulyani juga akan mensupport," ungkap Askolani.

Kebutuhan anggaran tambahan tahun 2021 dalam rangka fasilitasi sertifikasi TKDN sebesar Rp 163,5 miliar. Dengan dana tersebut akan dilakukan sertifikasi TKDN sekurang-kurangnya untuk 10 ribu produk farmasi dan alat kesehatan buatan dalam negeri.

Kalangan industri farmasi dalam negeri pun menyambut baik dan mengapresiasi rencana pemerintah tersebut. Hal ini bisa menjadi peluang produsen untuk bisa memasarkan produknya tidak hanya di dalam negeri.

"Bagi kalangan industri yang jeli dalam memandang peluang, saat ini mulai mengekspor produk-produk yang ‘nongkrong’ dan belum terserap oleh dalam negeri," kata salah satu pelaku industri yang hadir dalam rapat virtual tersebut.

Pihaknya mengaku menantikan sertifikasi yang dibiayai oleh pemerintah. Selain itu, saat ini ada sejumlah industri farmasi yang telah menyediakan bahan baku sendiri. Sehingga tidak perlu lagi melakukan impor bahan baku.

"Kita sangat menunggu adanya sertifikasi ini, dan menanti bangkitnya produk dalam negeri. Kita (juga) tidak lagi impor (bahan baku),"tambahnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ekonom: Masalah Utama Penyaluran PEN Terletak pada Data

20151101-Penyimpanan Uang-Jakarta
Tumpukan uang di ruang penyimpanan uang BNI, Jakarta, Senin (2/11/2015). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat jumlah rekening simpanan dengan nilai di atas Rp2 M pada bulan September mengalami peningkatan . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonom Indef yang juga menjabat sebagai Komisaris Independen PT Bank Mega Tbk Aviliani mengatakan, permasalahan penyerapan bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terletak pada data. Ia menilai program PEN sangat bagus, tetapi masalahnya ada pada realisasi penyaluran yang terkendala data. 

“Untuk yang berkaitan dengan demand side sebetulnya cukup besar yaitu Rp 203 triliun dan sisanya sekitar Rp 400 triliun sekian itu untuk supply side. Nah di dalam demand side pemerintah ada beberapa persoalan yang dihadapi, pertama persoalan data,” kata Aviliani dalam The 2nd Series Industry Roundtable (Episode 8) Banking Industry Perspective, Selasa (29/9/2020).

Menurutnya, orang miskin baru selama covid-19 belum terdeteksi semuanya, hanya sebagian orang miskin yang telah diberikan bantuan. Tetapi untuk sebagian lagi orang miskin baru sedang diverifikasi datanya. Sehingga masalah utama dari penyaluran PEN adalah masalah data.

Lanjutnya, masalah kedua, untuk bantuan subsidi gaji di bawah Rp 5 juta ini banyak merangkul sektor formal dibanding sektor informal. Padahal kata Aviliani sektor informal cukup banyak, hanya saja belum terdeteksi dari sisi pendataan Pemerintah.

“Oleh karena itu memang problem pemerintah adalah implementasinya (PEN) sampai dengan bulan September ini baru 35 persen, makanya dikatakan kita masuk jurang resesi. Mudah-mudahan di triwulan ke-4 bisa terserap, oleh karena itu mungkin yang dibutuhkan adalah gunakanlah data yang ada saja,” ujarnya.

Di samping itu, pemerintah harus mencari-cari data baru tapi susah. Kata Aviliani, lebih baik memberikan bantuan secara menyeluruh kepada data yang sudah diperoleh dahulu. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya