Hilirisasi Tembaga Terimplementasi dengan Baik Demi Capai Keseimbangan Industri dan Negara

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan proses nilai tambah tembaga dapat meningkatkan pendapatan negara, membuka lapangan kerja, dan membangun kemandirian.

oleh stella maris pada 16 Okt 2020, 17:43 WIB
Diperbarui 16 Okt 2020, 17:52 WIB
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.

 

Liputan6.com, Jakarta Peningkatan nilai tambah tembaga melalui proses hilirisasi harus memberikan manfaat yang besar bagi negara dan masyarakat Indonesia. Hal itu dikatakan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.

Meski demikian, Djamaluddin mengatakan bahwa peningkatan itu bisa dicapai melalui kesimbangan pola pikir finansial antara pemerintah dengan korporasi.

"Kita ingin proses nilai tambah yang panjang itu sebanyak mungkin memberi dampak bagi negara, untuk meningkatkan pendapatan negara, membuka lapangan kerja, dan membangun kemandirian (energi)," kata Ridwan dalam diskusi Webinar bertajuk Masa Depan Hilirisasi Tembaga Indonesia pada Rabu (14/10).

Ridwan menegaskan bahwa bukan hal mudah bagi badan usaha untuk membangun smelter tembaga. Lagi-lagi alasannya karena perlu modal investasi yang besar untuk mewujudkannya. 

"Setiap sen yang keluar (dari korporasi) harus dihitung, Pemerintah pun setiap sen yang tidak didapatkan harus juga dihitung. Itu adalah hak rakyat Indonesia. Keseimbangan ini yang akan kita cari," tegas Ridwan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) semakin memperkuat dan menegaskan hilirisasi nilai tambah tembaga menjadi sesuatu yang wajib dikerjakan. "(Harus) dilakukan baik bagi pemerintah yang menyuruh wajib dan pelaku industri agar terimplementasi dengan baik," jelas Ridwan.

Untuk diketahui, Indonesia memiliki dua smelter tembaga, salah satunya dioperasikan oleh PT Smelting, perusahaan patungan antara PT Freeport Indonesia dan Mitsubishi yang telah dibangun sejak 1996 di Gresik, Jawa Timur. Perusahaan ini memiliki kapasitas pasokan konsentrat tembaga sebesar 1 juta ton tembaga per tahun dan menghasilkan 300 ribu ton katoda tembaga per tahun.

Kini, Freeport telah membangun smelter tembaga kedua yang juga berlokasi di Gresik, tepatnya di kawasan Industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), dengan kapasitas olahan sebesar 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai USD 3 miliar.

Berdasarkan identifikasi Badan Geologi, Indonesia masuk kategori 7 negara cadangan tembaga terbesar di dunia dengan menyumbang sekitar 3% dari total cadangan di dunia. Bijih tembaga Indonesia memiliki total sumber daya 15.083 juta dan cadangan 2.632 juta ton. Sedangkan logam tembaga punya masing-masing total sumber daya dan cadangan sebesar 48,98 juta ton dan 23,79 juta ton.

"Provinsi dengan sumber daya tembaga terbesar ada di Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Aceh, dan Papua," kata Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono.

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya