Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai penggunaan mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) dalam perdagangan bilateral khususnya kawasan ASEAN akan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
“Saya pikir secara keseluruhan dampak dari implementasi LCS ini justru akan mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Karena tadi tentunya ini menjadi salah satu alternatif yang untuk bisa mengurangi ketergantungan dari dolar Amerika Serikat,” kata Josua dalam Diskusi Dampak Penerapan LCS Diperluas, (23/9/2021).
Dia sangat menyambut baik adanya LCS, lantaran penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat ini memang banyak digunakan berbagai negara untuk melakukan transaksi dagang termasuk Indonesia, misalnya transaksi dagang Indonesia dengan Malaysia pakai dollar, dan Tiongkok pakai dollar dan seterusnya.
Advertisement
Baca Juga
“Jadi artinya memang dolar ini hard currency artinya memang internasionalisasi dollar ini ketergantungan yang sangat tinggi dan ini bukan hanya dialami oleh Indonesia saja, tapi juga negara-negara berkembang ataupun negara-negara yang memang nilai mata uangnya masih soft currency termasuk di negara ASEAN,” ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kondisi Dolar
Lebih lanjut, dia membahas terkait kondisi dolar yang saat ini cenderung masih tetap menguat, lantaran ada potensi normalisasi dari neraca keuangan bank sentral Amerika Serikat, yang kemungkinan akan diikuti oleh kenaikan suku bunganya.
“Tapi sejauh ini pun kami melihat rupiah secara kalender dibandingkan dengan akhir tahun lalu meskipun cenderung melemah terhadap dolar, tetapi kelemahannya pun juga saya pikir cenderung juga tidak yang paling lemah kalau kita bandingkan dengan berapa mata uang Asia lainnya,” katanya.
Hal itu terlihat dari sisi investor asing, sentiment pasarnya pun masih tetap positif. Kata Josua, hal ini terindikasi dari aliran modal asing ke pasar keuangan domestik Indonesia yang di mana secara kumulatif Januari-Agustus kepemilikan asing di obligasi naik sekitar USD 1,34 miliar.
“Sementara investor asing membukukan net buy yang sebesar USD 1,6 miliar di pasar sahamnya. Jadi tentunya ini kita lihat bahwa sentimen pasar ini masih cenderung cukup preferable, khususnya investasi di negara berkembang,” pungkasnya.
Advertisement